Proses yang relatif mudah ini akan membutuhkan lebih dari dua pertiga dari 300 anggota Majelis Nasional yang memberikan suara untuk memakzulkannya, atau setidaknya 201 kursi. Setelah pemakzulan disetujui, akan ada proses peradilan yang diadakan Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan 9 hakim konstitusi.
Jika enam anggota pengadilan memberikan suara untuk mendukung pemakzulan, presiden akan dicopot dari jabatannya. Jika ini terjadi, ini bukan pertama kalinya seorang presiden Korsel dimakzulkan.
Pada tahun 2016, Presiden Park Geun-hye saat itu dimakzulkan setelah dituduh membantu seorang teman melakukan pemerasan. Pada tahun 2004, presiden lainnya, Roh Moo-hyun, dimakzulkan dan diskors selama dua bulan.
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Pakar dari Universitas Ewha, Leif-Eric Easley, berpendapat bahwa hal ini mungkin lebih merusak reputasi Korsel sebagai negara demokrasi daripada kerusuhan 6 Januari di AS. Pasalnya, hal ini tidak perlu dilakukan karena berdampak sangat luas.
“Pernyataan darurat militer Yoon tampaknya merupakan tindakan yang melampaui batas hukum dan salah perhitungan politik, yang secara tidak perlu membahayakan ekonomi dan keamanan Korea Selatan,” katanya kepada BBC News.
“Ia terdengar seperti politisi yang terkepung, mengambil langkah putus asa melawan skandal yang meningkat, hambatan institusional, dan seruan untuk pemakzulan, yang semuanya kini kemungkinan akan meningkat.”
Respons AS-Rusia
Dua negara adidaya, AS dan Rusia, ikut buka suara terkait adanya hal ini. Departemen Luar Negeri AS mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka mengamati situasi di Korsel dengan ‘kekhawatiran yang mendalam’.
“Harapan kami bahwa masalah ini akan diselesaikan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum. Seoul adalah mitra penting kami dan bahwa aliansi antara AS-Korsel tetap kuat,” ujar Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel.
Hal ini berbeda dengan Rusia, yang memiliki hubungan yang panas dengan Seoul setelah perang Ukraina. Meski belum resmi mengeluarkan sikap jelas, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova dalam akun Telegramnya menyamakan apa yang terjadi di Korsel dengan Georgia.
Diketahui, di Georgia, terjadi aksi protes warga besar-besaran yang dimotori oleh penolakan Perdana Menteri (PM) Irakli Kobakhidze untuk membicarakan aksesi Georgia ke Uni Eropa hingga 2028 mendatang. Protes warga itu sendiri diiringi oleh kebijakan ketat yang dilakukan oleh aparat, yang kemudian membuat Lithuania, Latvia, dan Estonia menjatuhkan sanksi terhadap Negeri Kaukasus itu.