”Ingatan kolektif dan kesadaran trah Mangkunegaran dalam menjaga relasi sosial itu dijaga turun-temurun. Tidak heran keluarga besar Mangkunegaran memiliki pergaulan luas, termasuk juga dengan para tokoh masyarakat Tionghoa di zamannya,” kata Wasino yang meneliti hubungan sosial Jawa dan Tionghoa di Surakarta.
Mangkunegara yang memiliki bisnis real estate berupa Kampung Mangkunegaran di belakang rumah gubernur—kini Wisma Perdamaian—memiliki pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan. Ia bahkan menjadi patron pertunjukan Wayang Wong di Gedung Sobokartti, Semarang.
Hubungan terus berlanjut di masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II di era Mangkunegara VI dan Mangkunegara VII. Wasino menambahkan, ekspor gula produk pabrik-pabrik milik Pura Mangkunegaran dilakukan oleh Kian Gwan Concern di Kota Semarang, milik konglomerat pertama Asia Tenggara: Oei Tiong Ham. Keluarga besar Bhe, Goei, dan Oei adalah tokoh-tokoh bisnis dan pemimpin komunal masyarakat Semarang pada masa itu.
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Pamedan atau lapangan Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, kerap dimanfaatkan sebagai tempat pertunjukan seni. Salah satunya, sendratari kolosal Matah Ati pada 2012.
Adapun keluarga Bhe, menurut Jongkie Tio, penulis buku Semarang Dalam Kenangan, adalah keluarga penting di Semarang dari 1800-an hingga 1900-an. Marga Bhe yang dalam Mandarin disebut Ma di China lazimnya adalah penganut Islam. Ma dalam Mandarin sering digunakan sebagai singkatan dari nama atau sebutan Muhammad. Keluarga Bhe, salah satu tokohnya adalah Bhe Biauw Tjwan.