KISAH cinta bak negeri dongeng antara seorang bangsawan dan perempuan yang bukan ningrat bukan saja terjadi di dunia Barat. Pada 1800-an, di Jawa Tengah seorang pangeran keturunan Kerajaan Mataram pun menjalin cinta dengan seorang gadis Tionghoa yang diabadikan dalam sebuah monumen, yakni Pabrik Gula Tjolomadoe di Surakarta.
Adalah penguasa Kepangeranan, Pura Mangkunegaran, yakni Kanjeng Gusti Mangkunegara IV, yang menjalin kisah kasih dengan Nyi Pulungsih, anak gadis keluarga Kapitan Cina Semarang, Bhe Biauw Tjwan. Kisah tersebut berakhir dengan happy ending, bahkan kenangan tersebut diabadikan, salah satunya dalam tradisi cembengan di pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tak jauh dari Museum de Tjolomadoe di Surakarta, peziarah masih secara rutin mengunjungi makam Nyi Pulungsih. Tradisi cembengan yang rutin dijalankan setiap tahun selain untuk mempererat hubungan petani tebu dan pabrik gula juga mendoakan agar musim giling berjalan lancar.
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Di sebelah makam Nyi Pulungsih yang diselubungi kelambu, terdapat dua makam di sisi kanan dan kiri. Makam tersebut terawat baik dalam sebuah bangunan permanen.
Upacara cembengan di lingkungan pabrik gula tersebut merupakan akulturasi dari upacara cengbeng (Mandarin: Qing Ming) atau ziarah kubur leluhur dalam tradisi Tionghoa yang diadopsi dalam tradisi lokal di masyarakat Jawa. Tradisi cembengan diadakan para pekerja dan warga sekitar pabrik gula sebelum musim giling tebu.
Upacara diawali dengan mengunjungi makam leluhur yang dihormati yang sejarahnya diawali dengan mengunjungi makam Nyi Pulungsih. Tak jauh dari makam tersebut terdapat patung dada (bust) Mangkunegara IV yang terletak di seberang Museum de Tjolomadoe.
Upacara cembengan di lingkungan pabrik gula tersebut merupakan akulturasi dari upacara cengbeng (Mandarin: Qing Ming) atau ziarah kubur leluhur dalam tradisi Tionghoa yang diadopsi dalam tradisi lokal di masyarakat Jawa.
Salah seorang keturunan Mangkunegara IV yang juga penulis buku-buku sejarah, Daradjadi Gondodiprodjo, mengatakan, Nyi Pulungsih menjadi jembatan kedua pihak sehingga ayahnya, yakni Bhe Biauw Tjwan, mau membantu menantu sekaligus sahabatnya, yaitu Mangkunegara IV, dalam merintis pendirian Pabrik Gula Tjolomadoe. Bantuan tersebut berupa permodalan yang diberikan kepada Mangkunegara IV sehingga berhasil mendirikan Pabrik Gula Tjolomadoe pada 1861 dan diikuti Pabrik Gula Tasikmadu di Karanganyar pada 1871.