PRESIDEN Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Cina pada tanggal 8-10 November 2024, dalam kunjungan tersebut Presiden Prabowo bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping. Hasil dari kunjungan tersebut adalah berupa Joint Statement mengenai Memajukan Kemitraan Strategis Komprehensif dan Komunitas Cina-Indonesia dengan Masa Depan Bersama.
Dalam sebuah kesempatan bersama delik, dosen hukum internasional Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Freidelino de Sousa, berpendapat mengenai isi dari paragraf 2 poin 9 Joint Statement antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping yang isinya terkait pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini Tengah berada dalam situasi tumpang tindih.
“Pernyataan tersebut adalah pernyataan biasa dalam hubungan internasional. Mengingat RI-RRT sudah menjalin kerjasama di berbagai bidang dengan sangat intensif terutama di sektor perekonomian. Kontroversi atas joint statement tersebut pun sudah diklarifikasi oleh Kementrian Luar Negeri RI bahwa joint statement bukan pengakuan Indonesia atas Klaim Sepihak Cina di Laut Cina Selatan,” ungkap dosen yang akrab disapa Pak Freddy, Kamis (13/11).
Baca Juga:Song Jae-rim Ditemukan Meninggal Penyebab Kematian Belum Terkonfirmasi, Ada 2 Lembar SuratPernah Ditolak Amerika Serikat, Kini Presiden Prabowo Subianto Menuju Washington
Lebih lanjut, ia menekankan berangkat dari penyataan Kemenlu tersebut disepakati yang menerangkan bahwa masalah laut Cina Selatan sudah game over menurut Hukum Laut Internasional dalam hal ini UNCLOS 1982.
Menurutnya, ada dua poin penting yang harus diperhatikan, yaitu:
- Tahun 2016 Permanent Court of Arbitration (PCA) sudah memberikan Putusan atas kasus Laut Cina Selatan, terkait sengketa Filipina dengan RRT. Putusan ini menyatakan bahwa hak berdaulat Filipina atas wilayah West Philippine Sea (bagian dari Laut Cina Selatan) adalah eksklusif dan sah. Hal ini berarti bahwa Filipina memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengonservasi, dan mengelola sumber daya alam di wilayah tersebut. Dengan kata lain, RRT sudah dianggap tidak memiliki Kedaulatan atas Zona Maritim yang dianggap bagian dari Nine Dash Line ataupun Hak berdauat atas Laut Cina Selatan atas dasar klaim nine dash line. Cina sebagai negara yang juga meratifikasi UNCLOS 1982 secara hukum HARUS tunduk kepada putusan PCA yang menggunakan UNCLOS 1982 sebagai hukum untuk memutus sengketa dengan Filipina tersebut.
- Klaim Historis Cina sangat Subyektif terkait aspek historis dari Laut Cina Selatan. Subyektifitas klaim tersebut tidak fit and proper dengan prinsip hukum penetapan wilayah laut yang dianut dalam UNCLOS 1982, yang menganut universalitas dan keadilan yang sangat obyektif. Zona maritim seperti Territorial Water, Internal Water, contiguous zone, yang masuk ke dalam kelompok Wilayah Kedaulatan Negara Pantai, maupun ZEE dan Landas Kontinen yang menganut Sovereign Rights merupakan cerminan dari asas universalitas dan keadilan. Indonesia paham status hukum di Laut Cina Selatan, sehingga tidak mungkin gegabah dalam melakukan Tindakan internasional terkait hal tersebut, yang dapat menimbulkan ketegangan atau bahkan kekacauan di Kawasan ASEAN. (*)