Para jurnalis mengeklaim bahwa perintah ini menunjukkan penerapan perintah itu, karena perintah itu sangat mirip dengan versi perintah lain.
Setelah 7 Oktober, Yagil Levy, seorang profesor madya di Departemen Sosiologi, Ilmu Politik, dan Komunikasi di Universitas Terbuka Israel, menulis di Haaretz, “Keputusan pemerintah untuk menyerang Gaza meskipun ada sandera di lokasi yang dibom dapat dianggap sebagai perpanjangan dari perintah Hannibal, yaitu upaya menggagalkan kelanjutan penahanan bahkan dengan mengorbankan nyawa para sandera.”
Namun, beberapa orang di Israel masih mendukung perintah tersebut. Dalam buku mereka pada 2013 berjudul Jewish Military Ethics, rabi Elazar Goldstein dan Ido Rechnitz menafsirkan kode etik tentara Israel berdasarkan hukum Yahudi (volume tersebut tidak memiliki kedudukan resmi). Mereka menyimpulkan, “Operasi militer yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tentara yang diculik atau melukai para penculik diizinkan menurut hukum Yahudi, meskipun ada kekhawatiran bahwa operasi tersebut akan melukai tentara yang diculik.”
Baca Juga:Polda NTT Tegas PTDH Terhadap Ipda Rudy Soik Tidak Terkait Mafia BBM di KupangSelamat Hari Radio Republik Indonesia
Pada 2014, komentator politik dan jurnalis Israel Amit Segal menulis tentang arahan setelah Black Friday, “Dalam kesepakatan Shalit, Israel menyerah pada rasio Hamas: satu orang Israel bernilai 1.000 orang Palestina. Anda dapat mendukungnya, Anda dapat menentangnya, tetapi Anda tidak dapat memegang tongkat di kedua ujungnya.”
“Apakah Anda setuju bahwa satu nyawa orang Israel bernilai 1.000 orang Palestina? Lalu mengeluh bahwa 150 orang Palestina terbunuh dalam pengejaran satu sandera.” (*)