BERDASARKAN survei yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebanyak 82% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.
Survei tersebut dilakukan AJI pada 2023 dengan melibatkan 852 responden dari seluruh Indonesia.
“Mayoritas pelakunya ialah orang yang tidak dikenal. Misalnya, dalam liputan saat beramai-ramai, dorong-dorongan, kemudian jurnalis perempuan dipegang dan disentuh di area sensitif, tapi gak tahu kan pelakunya siapa,” kata Ketua Umum AJI Nani Afrida dalam acara Laporan Riset Situasi Media Peka Gender di 5 Negara Asia, Senin (21/10).
Baca Juga:Polda NTT Tegas PTDH Terhadap Ipda Rudy Soik Tidak Terkait Mafia BBM di KupangSelamat Hari Radio Republik Indonesia
Kekerasan juga terjadi saat jurnalis perempuan bertugas di lapangan, baik dari narasumber maupun dari senior di tempat kerjanya.
Ia menilai bahwa ruang aman sangat sulit didapatkan oleh jurnalis perempuan.
“Jurnalis bekerja bisa 24 jam ya. Wawancara bisa dilakukan di malam hari. Tapi kenapa ruang aman itu tidak ada untuk jurnalis perempuan,” ucap dia.
Tidak hanya itu, AJI juga mencatat bahwa jurnalis perempuan mengalami diskriminasi di dalam redaksi.
Misalnya saja, candaan seksis yang seringkali muncul dari senior laki-laki ke junior perempuan.
Hal itu tentu tidak bisa dilawan karena ada relasi kuasa di dalamnya.
Selain itu, AJI juga menemukan bahwa banyak jurnalis perempuan yang tidak menerima kontrak kerja saat masuk kerja.Hal lainnya ialah jurnalis perempuan paling rentan terkena PHK karena dinilai bukan tulang punggung keluarga.
Baca Juga:UMKM Dirugikan, Menkominfo Sebut Aplikasi TEMU Bahaya, Jangan Masuk ke IndonesiaJokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan Gerindra
“Banyak juga media-media yang pemimpinnya tidak sensitif gender. Akibatnya keluar kebijakan yang tidak sensitif gender.Padahal kita perlu memberikan kesempatan pada wartawan perempuan untuk berkembang,” kata dia.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Citra Dyah Prastuti menyatakan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh AMSI, banyak perusahaan media yang tidak punya SOP mengenai kekerasan gender.
Hal itu tentu merupakan hal yang perlu diperhatikan.
“Banyak sekali perusahaan media belum punya SOP ini. Sementara itu merupakan kebutuhan. Kalau ada kasus, tapi tidak ada SOP, maka akan ada kebingungan apa yang harus dilakukan,” kata Citra.
Karenanya, AMSI mendorong agar perusahaan-perusahaan media di Indonesia dapat memerhatikan hal tersebut agar jurnalis perempuan yang bekerja dapat merasa aman dan terlindungi.