Selain itu, tekanan dari teman sebaya atau peer pressure memegang peran besar. Remaja sering kali merasa terpaksa ikut serta dalam tindakan kriminal untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok mereka. Tekanan ini bisa sangat kuat, terutama di lingkungan yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi, di mana tawuran dan geng menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang kurang memadai serta minimnya akses terhadap kegiatan positif seperti olahraga atau seni membuat banyak remaja tidak memiliki saluran yang sehat untuk menyalurkan energi mereka. Ketika tidak ada aktivitas yang membangun, remaja cenderung mencari alternatif yang negatif, termasuk terlibat dalam aksi kriminal​.
Kegiatan positif seperti olahraga, seni, atau keterampilan teknis dapat memberikan remaja sarana untuk menyalurkan frustrasi dan membangun rasa percaya diri. Namun, minimnya fasilitas ini di banyak lingkungan sosial ekonomi rendah menjadikan tawuran sebagai salah satu cara untuk mencari perhatian dan pengakuan.
Baca Juga:Polda NTT Tegas PTDH Terhadap Ipda Rudy Soik Tidak Terkait Mafia BBM di KupangSelamat Hari Radio Republik Indonesia
Sistem hukum yang tidak cukup kuat dalam menangani kasus tawuran remaja juga menjadi faktor yang memperparah fenomena ini. Hukuman yang diberikan sering kali tidak cukup berat untuk memberikan efek jera. Akibatnya, para pelaku tawuran merasa bebas untuk mengulangi tindakan mereka tanpa takut akan konsekuensi serius​
Di sisi lain, banyak remaja yang mengalami krisis identitas. Mereka tidak memiliki arah yang jelas dalam hidup dan merasa tidak diterima di masyarakat. Bergabung dengan geng atau terlibat dalam aksi kekerasan memberi mereka identitas dan rasa memiliki, meskipun itu dengan cara yang negatif. Mereka merasa bahwa dengan menjadi bagian dari kelompok kriminal, mereka mendapatkan tempat di dunia yang sering kali tidak peduli dengan nasib mereka.
Bisa jadi, kreak Semarang adalah jalan pintas menuju “ketenaran.” Meski ketenaran itu berarti menjadi headline berita kriminal. Namun, di balik kelakuan brutal dan gila ini, ada masalah yang lebih serius. Mereka bukan anak muda salah pergaulan, tapi juga korban dari sistem yang gagal memberikan harapan.
Fenomena tawuran dan aksi gangster di Semarang adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik. Pihak berwenang harus mengambil langkah-langkah yang lebih tegas dalam penegakan hukum, tetapi juga perlu memperhatikan akar masalah yang lebih mendasar. Memberikan akses lebih baik terhadap pendidikan, pekerjaan, serta program-program rehabilitasi sosial adalah langkah penting untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, keterlibatan aktif dari keluarga, sekolah, dan komunitas dalam memberikan pengawasan dan bimbingan kepada remaja juga sangat diperlukan.