Kreak di Semarang: Trend Gaya Hidup atau Kesenjangan Sosial?

Kelompok gangster Semarang yang disebut dengan istilah Kreak, ramai-ramai sepakat membubarkan diri
Kelompok gangster Semarang yang disebut dengan istilah Kreak, ramai-ramai sepakat membubarkan diri
0 Komentar

Dalam beberapa kasus, tawuran bahkan direncanakan melalui media sosial, di mana kelompok-kelompok ini mencari perhatian dan ketenaran dengan melakukan aksi kekerasan yang berbahaya.​

Tekanan ini memperkuat keinginan mereka untuk terlihat “tangguh” dan diakui sebagai bagian dari kelompok yang ditakuti. Fenomena ini adalah bentuk destruktif dari pencarian identitas di kalangan remaja yang masih labil. Mereka lebih memilih untuk melakukan aksi yang berbahaya daripada tertinggal oleh tren sosial yang ada.

Selain tekanan sosial, kondisi ekonomi yang sulit juga menjadi akar masalah. Banyak remaja yang tumbuh di lingkungan dengan keterbatasan finansial sering kali merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak atau pekerjaan yang memadai menciptakan rasa frustrasi dan putus asa. Tanpa arah yang jelas untuk masa depan, mereka mudah terjebak dalam aktivitas negatif seperti bergabung dengan geng atau kelompok kriminal​

Baca Juga:Polda NTT Tegas PTDH Terhadap Ipda Rudy Soik Tidak Terkait Mafia BBM di KupangSelamat Hari Radio Republik Indonesia

Kelompok gangster memberikan mereka perasaan “terlindungi” dan kesempatan untuk mendapatkan uang dengan cara yang cepat, meskipun itu berarti terlibat dalam tindakan ilegal. Dalam konteks ini, aksi tawuran menjadi pelarian dari kesulitan ekonomi yang mereka hadapi, meskipun akibatnya sangat merugikan.

Ketimpangan ekonomi antara remaja dari keluarga miskin dan mereka yang lebih mampu juga memicu kecemburuan sosial yang mendalam. Perasaan tidak setara dan iri hati terhadap mereka yang memiliki fasilitas lebih baik dapat mengarah pada tindakan destruktif. Dalam banyak kasus, remaja yang terlibat tawuran berasal dari latar belakang ekonomi rendah, di mana mereka merasa termarjinalkan oleh sistem sosial yang ada​

Fenomena ini seringkali diperburuk oleh persepsi bahwa kelompok atau individu yang lebih makmur tidak peduli dengan kondisi mereka, sehingga timbul perlawanan dalam bentuk kekerasan. Aksi tawuran dan kekerasan kemudian menjadi bentuk protes yang salah arah terhadap ketidakadilan sosial yang mereka rasakan.

Kondisi keluarga yang tidak harmonis atau kurangnya pengawasan orang tua juga menjadi faktor penting. Banyak remaja yang terlibat dalam aksi tawuran berasal dari keluarga dengan masalah internal, seperti perceraian atau kesulitan ekonomi yang memaksa orang tua bekerja lebih lama. Dalam situasi seperti ini, anak-anak sering kali merasa terabaikan dan mencari dukungan emosional di luar keluarga, biasanya dari kelompok teman yang salah​

0 Komentar