TAHUN 2024 kriminalitas di Indonesia mengalami perkembangbiakan. Selain begal, di Kota Semarang kini sedang marak jenis kriminal yang dijuluki oleh masyarakat dengan julukan ‘Kreak’.
Kreak sendiri merupakan singkatan dari “kere” dan “mayak”. Kere jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “miskin”, sementara “mayak” merujuk pada orang-orang yang berkelakuan norak atau sok-sokan.
Istilah tersebut pada awalnya hanya mengacu kepada perilaku gaya pakaian, rambut, dan sebagainya. Misalnya ada orang desa yang memakai busana glamor, padahal situasi tidak mengharuskannya mengenakan itu.
Baca Juga:Polda NTT Tegas PTDH Terhadap Ipda Rudy Soik Tidak Terkait Mafia BBM di KupangSelamat Hari Radio Republik Indonesia
Namun demikian, istilah ini berkembang untuk mencitrakan negatifnya kelakuan para kelompok remaja atau pemuda di Semarang. Berhubungan dengan itu, kasus viral gangster yang tawuran di Semarang termasuk sebagai dalam kreak pula.
Lantas, apa yang membuat istilah ini berkembang menjadi seburuk itu? Mungkin karena di kota yang panas dan penuh asap ini, emosi gampang tersulut. Anak-anak muda ini memilih jalan menjadi “jagoan jalanan” ketimbang fokus cari penghidupan yang lebih baik. Ini bukan soal sekadar “kere tapi norak” lagi, tapi sudah masuk ke wilayah “kere tapi kejam.”
Bayangkan, di kota yang terkenal dengan sikap toleransi, tercoreng oleh perilaku brutal kreak Semarang. Para pemuda yang semestinya sibuk mikirin pendidikan atau bekerja, malah sibuk membentuk geng di kota ini.
Sebetulnya, apa yang membuat mereka melakukan ini? Gampang saja, (mungkin) kreak Semarang adalah hasil dari keputusasaan yang bercampur dengan keinginan mendapat pengakuan.
Di kota yang menawarkan lebih banyak tantangan ketimbang kesempatan, mereka merasa perlu mencari eksistensi. Sayangnya, mereka menemukan saluran eksistensi itu di jalanan. Bentuknya adu jotos dan kebrutalan.
Salah satu faktor utama yang mendorong remaja terlibat dalam aksi tawuran dan gangster adalah FOMO (Fear of Missing Out), atau ketakutan akan ketinggalan tren sosial. Media sosial menjadi platform di mana gengsi dan popularitas dinilai.
Banyak remaja merasa tertekan untuk tetap relevan dan eksis di mata teman-temannya. Tawuran yang didokumentasikan dan dibagikan di platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook memberikan mereka validasi sosial dalam bentuk “likes” dan komentar.