Media Sosial dan Kesehatan Mental Gen Z di Era Digital

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Berangkat dari pengalamannya sebagai peer counselor, Aurora membagikan langkah-langkah untuk membantu temannya dengan prinsip 3L: look, listen, dan link.

Pertama, kita bisa mengamati dan melihat terlebih dahulu kondisi teman yang memiliki masalah agar kita memahami situasinya.

Kemudian, barulah kita mulai mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya. Kita bisa memvalidasi perasaannya dan menanyakan bantuan seperti apa yang ia butuhkan.

Baca Juga:Selamat Hari Radio Republik IndonesiaUMKM Dirugikan, Menkominfo Sebut Aplikasi TEMU Bahaya, Jangan Masuk ke Indonesia

“Lebih baik untuk ditanyakan langsung, sebenarnya yang dia mau bantuan seperti apa,” jelas Aurora.

Apabila masalahnya berada di tahap yang berat dan membutuhkan pertolongan lebih lanjut, maka kita dapat menghubungkannya kepada tenaga profesional.

“Kesehatan mental itu bukan tujuan, melainkan proses kehidupan. Yang menjalani hidupnya tetap orang itu sendiri. Bantuan-bantuan yang diberikan hanya sebagai fasilitas agar dia bisa lebih berdaya ke depannya,” pungkas Aurora.

Urgensi Peran Orang Tua

Dalam forum yang sama, dosen psikologi UNDIP, Hastaning Sakti, berargumen bahwa stigmatisasi tentang mentalitas dan kepribadian anak-anak Gen Z tidak bisa dipisahkan dari peran pengasuhan oleh generasi sebelumnya atau orang tua mereka.

Stigma-stigma yang bersifat subjektif itu pun perlu diberantas.

“Sangat tidak bijak bila kita mengatakan bahwa Gen Z itu generasi yang stroberi, lembek. Dilihat dari mananya, siapa yang membuat itu? Tentunya orang tuanya atau generasi-generasi sebelumnya.”

Meskipun tumbuh dalam masifnya perkembangan digital, cara pandang dan kepribadian generasi muda tetap terbentuk dari didikan orang tua. Kesejahteraan mental mereka juga sangat bergantung pada hadirnya komunikasi di dalam keluarga.

Berdasarkan riset yang Hastaning lakukan pada 2020 di 16 kecamatan di Kota Semarang, keterbukaan anak terhadap orang tua memiliki persentase paling rendah dibandingkan pola pengasuhan lainnya. Ini menandakan komunikasi dalam keluarga masih absen alias tidak ada.

Baca Juga:Jokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan GerindraRapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada Prasangka

“Sebetulnya orang tua juga memengaruhi cara anak mereka berpikir. [Orang tua] tidak terbuka, tidak ada kelekatan.”

Tradisi diskusi bersama di meja makan, Hastaning mengamati, sudah tergolong langka. Penggantinya adalah komunikasi via smartphone yang sangat mungkin rentan menimbulkan salah paham.

Miskomunikasi antargenerasi inilah yang menurut Hastaning akan membuat dunia semakin kusut dan meningkatkan ketergantungan generasi muda terhadap teknologi.

0 Komentar