“Inilah yang harus menjadi solusi pemerintah kita ke depan bagaimana menjamin equal opportunity, kesempatan yang setara, bagi seluruh anak bangsa. Sehingga bisa mengoptimalkan potensi anak-anak Indonesia di masa depan,” tuturnya.
Teguh mengungkapkan kesenjangan di Indonesia semakin melebar karena beberapa faktor. Pertama, karena pandemi COVID-19. Hal ini menurunkan kesejahteraan kelas menengah di Indonesia. Pandemi, kata dia, memperlebar kesenjangan aset finansial.
Kedua, karena ketimpangan kesempatan itu sendiri. Seperti kesempatan untuk belajar, kesempatan sekolah, hingga kesempatan akses digital. Dia mencontohkan, ketimpangan akses digital sangat dirasakan 10 persen masyarakat termiskin.
Baca Juga:Jokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan GerindraRapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada Prasangka
Kelompok masyarakat rentan tersebut akses digitalnya hanya sekitar 30 persen. Sedangkan masyarakat tergolong kaya aksesnya mencapai sekitar 85 persen. Hal ini mengakumulasi ketimpangan dari knowledge itu sendiri.
Masyarakat kaya semakin pintar sedangkan yang miskin stagnan. Ketika akumulasi knowledge semakin timpang, maka ke depan kesempatan kerja juga menjadi berbeda.
“Yang miskin tidak akan pernah bisa bekerja di pekerjaan yang layak. Inilah yang perlu dicari solusinya. Selain kita berbicara ketimpangan sebagai output, kita harus fokus juga bagaimana memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh anak bangsa dengan berbagai kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang ada,” tegasnya.
Teguh pun menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia pola pembangunan pertumbuhan ekonomi kurang inklusif. Artinya pertumbuhan itu tidak dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati golongan kelas ekonomi tertentu saja.
Adapun kelompok masyarakat miskin dengan berbagai support seperti subsidi pemerintah menikmati berbagai bantuan. Di sisi lain, kelas menengah kondisi ekonominya berdarah-darah.
BPS merilis data hingga Agustus lalu kelas menengah Indonesia menurun secara jumlah. Proporsi kelas menengah Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan pada 2019 yang sebanyak 57,33 juta penduduk.
“Saya khawatir terjadi divided society di mana tidak ada kelompok ekonomi yang di tengah tetapi hanya yang di bawah sama yang di atas. Inilah yang memang perlu ditopang karena selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kita itu banyak dinikmati oleh pemilik modal, bukan pekerja. Dibandingkan tahun 2019 sampai saat ini (prapandemi), masih belum pulih,” katanya. (*)