EKONOM senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri sempat memberikan pesan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto sebelum tutup usia pada Kamis, (5/9/2024). Pesan itu disampaikan dalam podcast Indef yang berjudul Peninggalan Utang Menanti Pemerintah Baru yang diunggah di YouTube Indef 8 hari lalu.
Ketika ditanya apa yang harus dilakukan oleh Prabowo dengan banyaknya utang, Faisal menjawab dengan nada pesimistis. Menurutnya, masyarakat harus terus bersuara agar pemerintah tidak terus-terusan menambah utang.
“Saya prihatin dan oleh karena itu kita harus bersuara terus. Saya kasihan sama generasi muda. Generasi kami yang meminjam tapi generasi muda yang harus membayar karena jatuh tempo utangnya itu 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun,” kata Faisal Basri dalam podcast itu dikutip Kamis, (5/9/2024).
Baca Juga:Jokowi: Tanggal Pelantikan 20 Oktober, Saat Itu Bapak Prabowo Milik Seluruh Rakyat Indonesia Bukan GerindraRapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada Prasangka
Menurut Faisal, Presiden Jokowi tidak merasakan langsung dampak dari utang yang terus dia tambah. Dia menilai yang harus menanggung utang itu adalah generasi masa depan, bahkan Prabowo sendiri sudah terkena imbasnya di tahun pertama pemerintahannya.
“Karena tahun depan itu puncak jatuh tempo kira-kira Rp 800 triliun,” kata dia.
Selain soal utang, Faisal juga menyinggung ucapan Prabowo yang ingin mengembangkan jalan tol di seluruh Indonesia. Menurut dia, tidak semua daerah di Indonesia cocok dibuatkan jalan tol. Berkaca pada era Jokowi, kata dia, pembangunan jalan tol yang masif nyatanya gagal meningkatkan logistic performance index Indonesia.
“Faktanya di era Jokowi infrastruktur dibangun, tapi logistic performance index kita terjun bebas dari peringkat 40-an, menjadi 60-an,” kata dia.
Faisal mengatakan dirinya tidak anti pembangunan infrastruktur. Nyatanya Indonesia memang membutuhkan hal tersebut. Namun, dia meminta pemerintah tidak meniru pembangunan infrastruktur di China, Amerika Serikat atau Eropa. Dia mengatakan kondisi geografis wilayah tersebut sangat berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara maritim.
“Mereka negara kontinental, infrastruktur yang dibutuhkan berbeda dengan negara maritim dan kepulauan, harusnya yang menjadi tumpuan adalah transportasi laut,” kata dia. (*)