BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 47,94 persen dari total penduduk pada Maret 2024. Dari total persentase tersebut, 24,49 persen di antaranya merupakan pekerja keluarga atau tidak dibayar dan 22,53 persen lainnya bertani dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.
“Kalau kita lihat bagaimana rumah tangga miskin ektrem dengan rumah tangga nontunggal, memang mereka mayoritas lebih dari 50 persen bekerja di sektor pertanian dan dengan status pekerja informal,” beber Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Konferensi Pers Menjaga Daya Beli Kelas Menengah Sebagai Fondasi Perekonomian Indonesia, di Kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2024).
Selanjutnya, sebanyak 26,50 persen penduduk miskin ekstrem bekerja sebagai buruh, karyawan, pegawai, dan berusaha sendiri. Sementara, di sektor industri tambang dan pengolahan, jumlah pekerja dari penduduk miskin ekstrem tercatat sebesar 13,23 persen, dengan lebih dari separuhnya berprofesi sebagai buruh, pegawai, atau karyawan dan sisanya berusaha sendiri.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Pada sektor konstruksi yang memiliki porsi sebesar 9,04 persen dari total jumlah penduduk miskin ekstrem, 44,08 persen di antaranya bekerja sebagai buruh, pegawai, atau karyawan dan 52,43 persen memiliki usaha sendiri.
Di sektor perdagangan, akomodasi, makan, minum terdapat 3,30 persen penduduk miskin. Dari total tersebut, 39,67 persen merupakan buruh di sektor perdagangan, akomodasi, makan, minum. Sedangkan 40,85 persen lainnya berusaha sendiri.
Berbeda dari penduduk miskin ekstrem, penduduk produktif berusia 15 tahun ke atas dari kelompok kelas menengah justru banyak bergelut di bidang jasa.
“Status pekerjaan dari kelas menengah itu paling banyak formal atau informal. Ternyata mayoritas pekerja kelas menengah dan kelompok menuju kelas menengah pekerjaannya berstatus formal. Dia berusaha dibantu buruh tetap atau dia memang sebagai buruh, karyawan atau pegawai,” jelas Amalia.
Jika menilik lima tahun ke belakang, status pekerjaan kelas menengah mengalami perubahan (shifting), yakni dari masa pra pandemi mayoritas merupakan sektor formal menjadi ke sektor informal. Dari data BPS, pada tahun 2019 jumlah pekerja formal ada sebanyak 61,71 persen dan informal 38,29 persen.
Lima tahun berselang, pada 2024 jumlah pekerja formal turun menjadi 58,65 persen, sedangkan pekerja informal melonjak menjadi 41,35 persen.