PENGGEMAR olahraga bola basket pasti tahu dengan istilah ini, yakni “Game 7”. Frasa ini sangatlah penting karena menjadi sesuatu hal yang menentukan.
Dalam playoffs National Basketball Association (NBA), permainan biasanya dilaksanakan hingga tujuh kali. Format turnamen seperti ini disebut sebagai format best-of-seven (BO7).
Sering kali, setelah enam pertandingan di antara dua tim calon juara, pertandingan ketujuh menjadi penentu. Siapapun yang memenangkan pertandingan terakhir ini, biasanya akan menentukan siapa pemenangnya.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Sepanjang sejarah NBA, setidaknya sudah terdapat 151 Game 7. Sering kali, tim kandang yang memenangkan permainan ketujuh itu.
Namun, BO7 ini tampaknya tidak hanya ada dalam turnamen olahraga seperti NBA, melainkan juga dalam dunia politik. Ini tampaknya bisa saja terjadi dalam perpolitikan Indonesia.
Bagaimana tidak? Presiden ke-7 RI akan segera mengakhiri masa jabatannya pada bulan Oktober 2024 nanti. Dan, bukan tidak mungkin, presiden ketujuh inilah yang menjadi penentu dalam sebuah pertandingan tak kasat mata.
‘Pertandingan’ ini terjadi di antara dua kelompok presiden, yakni presiden yang turun jabatan dengan mulu (soft landing) dan presiden yang turun jabatan dengan kacau (crash landing).
Di kelompok soft landing, misalnya, terdapat sejumlah nama presiden RI, seperti B.J. Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara, di kelompok crash landing, terdapat nama-nama seperti Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kini, tiba saatnya presiden ketujuh akan menentukan pilihan untuk masuk tim yang mana. Dengan Oktober yang hanya dua bulan lagi, akan masuk manakah Presiden Joko Widodo? Akankah masuk ke kelompok soft landing atau crash landing?
Sejak demonstrasi #KawalPutusanMK atau #PeringatanDarurat membuat heboh publik dan media, sebutan “Raja Jawa” semakin ramai digunakan. Tidak hanya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, masyarakat menggunakan frasa ini untuk merujuk pada Presiden Jokowi.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Istilah ini juga bukan datang tanpa sebab. Pasalnya, Jokowi dinilai menerapkan pola politik kekuatan Jawa seperti yang dijelaskan Benedict R. O’G. Anderson yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.