SEJAK DPR membahas revisi RUU TNI dan Polri, penolakan terus digaungkan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai substansi usulan perubahan dalam kedua RUU itu dinilai memiliki sejumlah persoalan serius yang dikhawatirkan akan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri. Walaupun ada penolakan, DPR sempat menyatakan bahwa pembahasan kedua revisi itu tetap akan berjalan.
Namun tiba-tiba Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Wihadi Wiyanto, Senin (26/8), di kompleks parlemen di Jakarta mengungkapkan bahwa lembaganya memutuskan membatalkan pembahasan revisi UU TNI dan Polri, tanpa mengungkapkan alasan.
“Nanti kita akan sampaikan ini (revisi UU TNI dan UU Polri) akan dilanjutkan untuk DPR (periode) yang berikutnya, tetapi ini dilihat urgensinya nanti. Jadi Baleg DPR memutuskan untuk tidak membahas dulu dan menunda atau membatalkan keputusan untuk membahas UU TNI-Polri,” katanya kepada wartawan.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Wihadi juga menyebut pemerintah belum mengirimkan daftar inventaris masalah terkait dengan revisi UU TNI dan Polri tersebut.
Menanggapi pembatalan tersebut, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani, salah satu organisasi yang menolak revisi tersebut, menjelaskan bahwa sejak awal dari segi substansi revisi UU TNI dan UU Polri banyak bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan lebih banyak melebar pada persoalan-persoalan kebutuhan politik dan bisnis. Revisi itu, katanya, tidak membahas persoalan-persoalan yang lebih mendesak, seperti jenjang karier, promosi, dan mutasi. Saat ini, menurut Julius, ada pembengkakan di kelompok perwira kelas menengah.
“Oleh karena itu, satu-satunya alasan yang bisa kita lihat dalam cepatnya jalan (pembahasan revisi) UU TNI dan Polri itu adalah alasan politis, dimana Indonesia menghadapi pilkada menjelang akhir tahun ini pasca pilpres dan pileg kemarin. Ketika pilkada-nya buyar akibat putusan MK nomor 60, sudah bisa diprediksi penguasaan terhadap TNI dan Polri yang ditujukan pada kepentingan politik ini menjadi buyar,” ujarnya.
Alhasil, lanjut Julius, revisi UU TNI dan UU Polri tidak lagi menjadi prioritas untuk didorong. Dia menegaskan yang menjadi urgensi adalah merevisi kewenangan-kewenangan yang melampaui dan tidak sesuai mandat reformasi dan konstitusi, baik di UU TNI dan UU Polri. Dia mencontohkan dalam UU TNI yang harus direvisi adalah TNI harus kembali ke barak. “TNI tidak boleh berada di ruang sipil. TNI hanya boleh bergerak pada operasi militer perang dan operasi militer non-perang,“ katanya.