Paulo Freire membedakan dengan jelas antara orang tertindas yang terjebak dalam siklus ketidakberdayaan dan orang merdeka yang memiliki kesadaran kritis serta keberanian untuk melawan penindasan. Orang merdeka menurut Freire tidak hanya bebas dari dominasi eksternal, tetapi juga memiliki kesadaran yang memungkinkan mereka untuk menjadi agen perubahan yang memberdayakan diri sendiri dan orang lain.
Dalam konteks Indonesia yang akan segera menggelar pemilihan kepala daerah serentak, pemikiran Freire memberikan panduan penting untuk memahami kriteria kepala daerah yang merdeka—tidak terperangkap dalam pola pikir penindasan, tetapi mampu memimpin dengan kesadaran kritis dan keberanian untuk menghadirkan perubahan.
Kriteria Kepala Daerah Merdeka Berdasarkan Paulo Freire
- Kesadaran Kritis terhadap Realitas Sosial. Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis (critical consciousness) sebagai inti dari proses pembebasan. Kepala daerah yang merdeka harus memiliki kemampuan untuk memahami kondisi sosial yang kompleks dan tidak hanya menerima keadaan yang ada sebagai sesuatu yang “sudah seharusnya.” Mereka mampu membaca dinamika sosial, ekonomi, dan politik secara jernih serta tidak terjebak dalam struktur yang menindas. Kepala daerah seperti ini bukan hanya menjalankan kebijakan yang populer, tetapi berani menghadirkan kebijakan yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat.
- Mendobrak Sistem yang Tidak Adil. Kepemimpinan yang merdeka menurut Freire adalah kepemimpinan yang tidak takut mendobrak sistem yang tidak adil. Seorang kepala daerah yang merdeka tidak akan ragu untuk melawan praktik korupsi, oligarki, dan eksploitasi yang masih mengakar dalam birokrasi. Mereka berani memihak pada kepentingan rakyat, meskipun itu berarti menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh sistem yang ada. Ini adalah pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menindas, tetapi untuk melayani dan membebaskan.
- Memimpin dengan Dialog dan Partisipasi. Freire menolak model pendidikan “banking system” yang bersifat otoriter, di mana guru menjadi pusat dan siswa sekadar penerima. Dalam konteks pemerintahan, kepala daerah yang merdeka akan mengedepankan dialog dan partisipasi aktif dari masyarakat. Mereka tidak memandang diri sebagai pemimpin yang “tahu segalanya,” tetapi sebagai fasilitator yang membuka ruang bagi warganya untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintahan yang inklusif dan partisipatif ini mencerminkan prinsip pendidikan dialogis ala Freire.
- Komitmen terhadap Pendidikan yang Memerdekakan. Kepala daerah merdeka juga memahami pentingnya pendidikan yang memberdayakan sebagai fondasi pembangunan daerah. Mereka berfokus pada program pendidikan yang tidak sekadar berorientasi pada angka atau prestasi akademik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kritis, kemandirian berpikir, dan keterampilan hidup bagi masyarakat. Dengan pendidikan yang memerdekakan, masyarakat akan memiliki kapasitas untuk mengubah nasib mereka sendiri dan terlibat aktif dalam pembangunan daerah.
- Menjadi Teladan dalam Integritas dan Moralitas. Freire percaya bahwa pembebasan sejati hanya dapat terjadi jika ada integritas dan kejujuran. Kepala daerah yang merdeka harus menjadi teladan dalam hal moralitas dan etika, menolak segala bentuk korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka memahami bahwa tanggung jawab sebagai pemimpin bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan integritas di mata rakyat.