Penelusuran delik di Salatiga, melewati sepanjang perjalanan jalan Semarang-Solo tersebut. Bentang wilayah kota lumpia ke selatan jelas memiliki banyak tapak tilas orang terdahulu, mengingat tanah tersebut termasuk titik terpenting yang dimiliki kerajaan-kerajaan Jawa pada masanya khususnya era Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sehingga pantas saja apabila banyak lokasi bersejarah dan makam keramat yang berada di daerah-daerah bentangan tersebut, misalnya di Ungaran ada makam Hasan Munadi dan Hasan Dipuro, komplek makam Gunung Pring di Muntilan hingga tanah Mataram Islam (Solo-Yogyakarta) kemudian di Ambarawa juga pernah menjadi titik terpenting markas tentara Belanda yang dibuktikan dengan peninggalan Benteng Pendem Fort William.
Pada mulanya, makam Kiai Abdul Wahid, yang makamnya terletak di tengah pekarangan desa Tingkir Lor. Di daerah tersebut jarang ditemukan rumah warga dan relatif sepi, terlebih makamnya berdampingan dengan makam umum masyarakat setempat, namun bagian komplek makam Mbah Abdul Wahid cenderung naik ke atas dan dikelilingi makam-makam kuno yang berupa tumpukan batu-batu andesit yang mirip dengan batu candi, begitupun makam Mbah Abdul Wahid.
Berdasar informasi budaya tutur masyarakat setempat, Kiai Abdul Wahid adalah salah satu pasukan Pangeran Diponegoro yang ditugaskan sebagai telik sandi atau mata-mata untuk membaca pergerakan Belanda saat perang berlangsung.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Dalam video YouTube yang tersebar, Mbah Marjan menceritakan asal mula Kiai Abdul Wahid bisa sampai di Salatiga. Saat perang Diponegoro berakhir, penjajah memiliki ide yang sangat buruk, mereka memanggil Pangeran Diponegoro sebagai komandan perang untuk menghadapi Belanda dengan dalih perundingan.
Dalam kesempatan tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki firasat yang kurang baik akhirnya sebelum berangkat ia sempat berpesan kepada para santrinya termasuk pasukanya. Pesan tersebut adalah “apabila Pangeran Diponegoro tidak pulang lagi, maka kalian (para santri dan pasukanya) untuk pulang ke kampung halaman masing-masing dan masih ada satu komando yaitu disetiap halaman rumah, mushola atau masjid tanamlah pohon sawo,” firasat tersebut terjawab, Pangeran Diponegoro ditangkap pasukan penjajah dengan kelicikannya.
Tidak heran jika para kiai Jawa terdahulu di halaman depan rumahnya terdapat pohon sawo, dapat dipastikan ia adalah murid atau pasukan Pangeran Diponegoro. Di Tingkir, Salatiga ada dua masjid tua yaitu Masjid Al Fudhola dan Masjid Sabilul Muttaqin yang mana kedua masjid tersebut dulunya di halaman depan terdapat pohon sawo. Salah satu khatib di Masjid Sabilul Muttaqin adalah Mbah Kiai Abdan yang asli orang Tingkir Salatiga dan dapat dipastikan pasukan Diponegoro. Menurut Mbah Marjan, Kiai Abdul Wahid diperkirakan pulang ke Tingkir Salatiga diajak oleh Kiai Abdan dan wafat di Tingkir. Mengenai peninggalannya belum dapat dipastikan karena Kiai Abdul Wahid tidak meninggalkan situs seperti Mushola, di Tingkir.