PAVEL Durov, pendiri dan CEO Telegram, kabarnya ditahan oleh kepolisian Prancis. Saat ditahan, Durov sedang meninggalkan pesawat pribadinya di bandar udara Bourget dekat Paris, menurut laporan stasiun televisi Prancis TF1. Pihak Rusia, negara asal Durov, pun bertindak.
Menurut laporan TFI1, Durov ditahan di Prancis berdasarkan penyelidikan awal polisi. Durov kabarnya ditahan saat pesawatnya baru mendarat setelah terbang dari Azerbaijan.
Pihak berwenang Prancis kabarnya mengklaim kurangnya moderasi konten di Telegram dan keengganan bekerjasama dengan penegak hukum menjadikan Durov terlibat dalam perdagangan narkoba, pencucian uang, dan penyebaran pornografi anak yang diduga terjadi di aplikasinya.
Baca Juga:Rapat Pengesahan PKPUI Pilkada 2024 Dipercepat, Komisi II DPR: Percepatan Dilakukan agar Tak Ada PrasangkaPusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus Mpox
Kedutaan Besar Rusia di Prancis mengambil langkah cepat untuk mengklarifikasi situasi yang dihadapi Durov. Adapun perwakilan partai Rakyat Baru Rusia, Vladislav Davankov, mendesak pemerintah Rusia untuk mengupayakan pembebasan Durov.
“Kedutaan Besar Rusia di Paris segera mulai menangani kasus ini karena merupakan tugas diplomat Rusia untuk merespons kasus-kasus yang melibatkan penahanan warga negara Rusia di luar negeri,” kata Zakharova yang dikutip delik dari Xinhua.
Telegram sangat populer di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Kini, aplikasi itu juga naik daun di berbagai negara sebagai pesaing WhatsApp. Telegram menargetkan untuk mencapai satu miliar pengguna aktif tahun depan.
Aplikasi ini sebenarnya dilarang di Rusia pada tahun 2018, setelah sebelumnya Durov menolak untuk menyerahkan data pengguna. Namun, larangan tersebut dicabut pada tahun 2021.
Durov yang kelahiran Rusia 39 tahun silam, dilaporkan memegang kewarganegaraan Prancis dan juga sering tinggal di Dubai, Uni Emirat Arab. Ia mendirikan Telegram pada tahun 2013 bersama saudaranya Nikolai.
Durov meninggalkan Rusia pada tahun 2014 setelah menolak memenuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosialnya yang lain, VK, yang kemudian ia jual.
Setelah Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada tahun 2022, Telegram menjadi sumber utama berbagai macam konten yang tidak difilter, terkadang vulgar, dan menyesatkan dari kedua belah pihak seputar konflik tersebut. (*)