ADA saja cara bangsa di dunia untuk mengenang serta menghormati jasa dan karya-karya tokoh besar di masa lalu. Berkat kemampuan musisi yang semakin berkembang, mereka berhasil membuat kemajuan besar terhadap ekosistem musik, misalnya membuat artis top dunia, salah satunya adalah penyanyi rap (rapper) asal Amerika Serikat bernama Eminem. Dalam lagunya yang berjudul “The Monster”, “But I know somebody once told me to seize the moment and don’t squander it”.
Eminem bercerita bahwa dia pernah mendapatkan pesan moral bahwa momen yang dilalui harus bisa memanfaatkan momen yang ada dan tidak menghancurkan.
Namun, musisi jugalah manusia. Merekapun memiliki sejumlah pesan dan nilai yang ingin disampaikan kepada pendengarnya.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
Mungkin, inilah yang harusnya bisa dipahami oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi dan pejabat. Bagaimana tidak? Kini, momentum politik tengah berpihak pada satu orang, yakni Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Usai publik dibuat ramai oleh upaya revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menjadi sorotan. Momentum berbalik begitu saja ke lawan politiknya kini, yakni Megawati, setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan soal ambang batas Pilkada.
Pintu kembali terbuka untuk PDI Perjuangan. Namun, ketika berusaha ditutup kembali, sebagian masyarakat turut serta mencegah pintu itu tertutup kembali.
Menariknya, momentum ini juga bisa menjadi momen bagi Megawati untuk kembali menjadi penentu dalam perpolitikan nasional setelah sebelumnya tergeser oleh Jokowi pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Lantas, mengapa ini bisa terjadi? Mungkinkah ini menjadi momentum Megawati untuk bisa kembali menguasai dinamika politik Indonesia, misal melalui Pilkada 2024 yang akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan?
Apa yang terjadi kali ini sebenarnya bisa dibilang akibat ‘kegagalan’ atau ‘kesalahan’ yang diatribusikan kepada Jokowi. Bisa jadi, perang narasi ke depannya akan berlanjut di antara pihak-pihak yang saling berebut.
Ini sejalan dengan penjelasan Andreas Kruck, Kai Oppermann, dan Alexander Spencer dalam tulisan mereka yang berjudul Political Mistakes and Policy Failures in International Relations. Dalam tulisan itu, mereka menjelaskan bahwa ‘kesalahan’ ini akan berpengaruh pada interpretasi atas keputusan politik.