“Menegaskan bahwa secara prekondisi ini tidak mendukung adanya transisi energi yang berkeadilan,” tegasnya.
Kondisi di Tapak
Siti Latifah dari Salam Institute berpendapat, pemerintah sejak awal tidak mempertimbangkan aspek sosial dan spasial di lokasi. Ketika pertama kali dibangun, kehadiran PLTU Cirebon 1 berdampak langsung kepada para petambak garam, ikan, dan udang di Kanci. Namun, hadirnya PLTU berdampak banyak pula pada nelayan-nelayan kecil pencari rebon, nelayan rajungan, dan perajin terasi.
Sedangkan masyarakat Waruduwur mulai kehilangan sumber uang mereka, yaitu kerang hijau. Latifah menyebut, kerang hijau ibarat mesin ATM bagi masyarakat Waruduwur. Kapan saja mereka membutuhkan uang, mereka akan mengambil kerang dan menjualnya. Tetapi pascaberoperasinya PLTU Cirebon 1 hasil kerang hijau menurun.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
“Kemudian itu hilang begitu saja. Ada yang masih beroperasi tapi juga terdampak, karena berdebu, garamnya hitam, dan lainnya. Sehingga keuntungannya gak sebanding. Akhirnya memicu penolakan-penolakan. Mereka tentu saja melakukan penolakan karena berbagai aspek persoalan dari masyarakat terdampak tadi,” katanya.
Selain itu, sebenarnya sedikit sekali warga sekitar yang bekerja di PLTU Cirebon. Bahkan, para pekerja di PLTU sebenarnya berhadapan dengan kondisi baru, yaitu terancam tidak bekerja karena wacana pensiun dini. Kebanyakan para pekerja di PLTU dengan skema alih daya (outsourcing) bahkan berharap PLTU tidak ditutup.
“Berdirinya PLTU itu katanya untuk menyerap tenaga kerja, tapi nyatanya enggak. Sebab PLTU ini padat modal, bukan padat karya,” kata Latifah.
Latifah menyebut, ada dampak sosial yang tak bisa dihitung secara materil lantaran adanya PLTU Cirebon 1 hingga mencuatnya wacana pensiun dini, yaitu peran ganda perempuan nelayan yang semakin berat karena suami sering tidak melaut lantaran hasil tangkapan yang sedikit. Ada pula fenomena penurunan struktur masyarakat nelayan dari juragan menjadi buruh serabutan, dan timbulnya konflik horizontal antara warga karena hadirnya PLTU yang menyebabkan hilangnya tradisi guyub.
Dalam struktur masyarakat pesisir, lanjut Latifah, ada tipologi orang laut dan orang darat. Orang laut sebagian besar aktivitas sosial-ekonomi dilakukan di laut. Orang laut merupakan penduduk lokal yang kebanyakan berpendidikan rendah, cenderung tidak religius, dan apatis terhadap persoalan politik. Kondisi ini berkebalikan dengan orang darat, meski sama-sama masyarakat pesisir.