Perwakilan ICEL Syaharani menerangkan, sudah empat kebijakan berkaitan dengan transisi energi berkeadilan, yaitu dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Perpres 112/2022, RUU EBT, dan RPP KEN. Sayangnya, belum ada kebijakan khusus yang terkait ketenagakerjaan pada aspek transisi energi.
Dari empat kebijakan itu, lanjut Syaharani, ada tiga temuan yang perlu menjadi perhatian bersama.
Yang pertama, empat kebijakan itu belum ada komitmen politik untuk akselerasi energi bersih. Ia menilai, kebijakan energi di Indonesia sangat teknokratis, buta terhadap sektor lain, tidak mempertimbangkan sektor lain yang terdampak akibat transisi energi. Bahkan terkait regulasi ketenagakerjaan belum ada sama sekali regulasinya, baik yang membahas upscaling, kecelakaan kerja, dan sebagainya.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
“Empat dokumen ini buta terhadap sektor lain, misalnya gak membahas terkait bagaimana dampak sosial ke masyarakat atau bagaimana agenda dekarbonisasi ini berdampak untuk masyarakat sekitar. Jadi sebenarnya ini menjadi tanda tanya besar terkait kebijakan energi kita,” ungkap Syaharani dalam kegiatan Diseminasi Riset.
Adapun yang kedua, kebijakan itu tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ketenagakerjaan. Sedangkan yang ketiga terkait tidaknya adanya keterlibatan partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan ini, Rani, demikian ia kerap disapa, menyebut bahwa sektor energi dan kebijakannya hanya fokus terhadap hal-hal teknis saja. Sedangkan partisipasi bermakna masyarakat, akses informasi, tidak ada sama sekali.
Padahal, dalam membangun kerangka keadilan dalam kebijakan transisi energi, ada tiga aspek pertanyaan yang perlu ditanyakan, yaitu aspek lingkungan, aspek sosial-ekonomi, dan aspek tata kelola.
Rani menerangkan, masih adanya tantangan dan hambatan transisi energi berkeadilan di Indonesia. Di antaranya peraturan dan kebijakan yang belum memadai untuk mendukung level of playing field energi terbarukan, data dan informasi yang tidak memadai untuk mendukung penyusunan kebijakan, serta pendekatan top-down dalam pengelolaan energi dan sulitnya melakukan desentralisasi energi.
Selain itu, ada tantangan safeguard yang lemah termasuk jaminan partisipasi dan pemenuhan hak-hak dasar, pendanaan untuk kondisi pemungkin energi transisi yang minim, dan kelembagaan yang kompleks, multiaktor, multilevel, dan multidimensi di tengah ego sektoral dan silos.