Maulida menyebut, pembangunan infrastruktur memang membutuhkan lahan dan akan berdampak pada alih fungsi lahan. Pembangunan dan pengoperasian PLTU, khususnya, berdampak pada merosotnya kesehatan warga dan kualitas lingkungan hidup.
“Dampak kesehatan memang masih perlu didalami. Tetapi temuan setidaknya sudah membuktikan kalau pembangunan infrastruktur perlu mempertimbangkan aspek hidup yang sehat dan nyaman. Aspek sosial harus memperhatikan hak-hak. Jadi dalam pembangunan mau tidak mau harus diperhatikan,” kata Maulida. “Transisi energi yang ideal itu yang layak dan menyejahterakan, bukan asal.”
Maulida menegaskan, dalam pembangunan dan wacana pemensiunan dini bagi masyarakat sekitar PLTU Cirebon 1, negara harus menjamin hak-hak sosial masyarakat, di antaranya hak atas pembangunan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak partisipasi publik. Ketiga hak ini, ditemui tidak dijamin oleh negara. Lantaran pembangunan dilakukan tiba-tiba, terjadi beberapa kerusakan lingkungan, hingga minimnya partisipasi masyarakat.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
Maulida lantas membacakan rekomendasi-rekomendasi dari dua aspek. Pada aspek sosial, PLTU dan pemberi dana wajib memastikan masyarakat lokal terdampak dapat memahami secara komprehensif terkait pensiun dini PLTU Cirebon 1. Negara juga harus menjamin terbukanya akses informasi untuk pelibatan bermakna masyarakat lokal.
Negara juga dipandang perlu membentuk produk hukum khusus yang mengatur hak-hak masyarakat lokal terdampak, termasuk pengawasan serta konsekuensi hukumnya dalam konteks pemensiunan dini PLTU. Selain itu, juga melaksanakan kajian dampak lingkungan dan sosial kembali agar relevan dengan kondisi saat ini.
Pada aspek ketenagakerjaan, negara wajib menjamin dan tegas dalam urusan pemenuhan hak-hak normatif pekerja PLTU dipenuhi sesuai standar dan aturan yang berlaku. Salah satunya, melalui revisi Undang-undang Cipta Kerja karena dalam undang-undang ini banyak hak pekerja yang terampas.
Negara harus mengawasi ketaatan regulasi ketenagakerjaan, menjamin pelibatan pekerja dan serikat pekerja termasuk melindungi kepentingan pekerja, membuat strategi konkret untuk reskilling dan back to work bagi pekerja terdampak. Negara juga harus menjamin kebebasan berserikat bagi pekerja PLTU sebagai perwujudan pemenuhan hak pekerja.
“Lalu yang terakhir itu menjadikan skema just transition sebagai momentum menyamaratakan status pekerja, khususnya PKWT/pekerja outsourcing agar terciptanya transisi energi yang berkeadilan yang benar-benar adil bagi seluruh aspek yang terdampak,” ungkap Maulida.