“Ini artinya sangat penting untuk membudayakan kompetisi dan perdebatan yang berkualitas, bukan justru menguatkan politik yang eksklusif, primordial, yang sering dibumbui dengan ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu,” paparnya.
Lebih lanjut, Heru menekankan fenomena penyanderaan politik oleh penguasa marak terjadi usai Pileg, Pilpres 2024 dan jelang Pilkada 2024. Ia berpendapat bahwa data empirik yang diamati selama lima tahun terakhir, menunjukkan adanya analisis aktor kuat di belakang peristiwa politik tersebut.
Secara tegas, Heru Subagia mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo merupakan biang kerok dari buruknya demokrasi di Indonesia.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
“Salah satu aktor utama yang kami duga sangat kuat adalah Joko Widodo. Itu menjadi faktor yang kemudian membuat demokrasi makin memburuk,” tegasnya.
Heru menyebut Jokowi seolah membiarkan praktik kotor dalam berdemokrasi dan juga cuci tangan pada sejumlah peristiwa politik yang dialami partai politik.
“Membiarkan praktik busuknya demokrasi dan menjadi pelaku utama dalam proses busuknya demokrasi itu. Karena dia berada pada posisi sentral, berada pada posisi struktural kekuasaan. Sebagai sesama alumni UGM tentu saya malu,” jelasnya.
Sebagai presiden, lanjut Heru, Jokowi seharusnya mengerem tindakan sandera politik tersebut. “Yang memungkinkan dia bisa membalikan arah menjadi demokratis. Tapi itu tidak dilakukannya. Bahkan kemudian membiarkan itu, bahkan terkesan menikmati busuknya demokrasi ini,” tutupnya. (*)