BADAN Legislasi (Baleg) DPR RI sepakat mengesahkan mengesahkan Revisi UU Pilkada terkait materi syarat pencalonan kepala daerah yang mengabaikan Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024. Keputusan dibuat hanya dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Respons DPR terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 mendapatkan kritik keras dari banyak pihak. Salah satunya, lebih dari 1.000 Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada.
Pasalnya, langkah yang dilakukan DPR dan Presiden yang hendak merevisi UU Pilkada yang menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinilai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Meski akhirnya dibatalkan seiring masifnya aksi demonstrasi berbagai elemen masyarakat di sejumlah daerah yang menolak pengesahan RUU Pilkada.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
“Proses manipulasi demokrasi seperti ini harus dilawan oleh seluruh komponen rakyat Indonesia karena menciderai kedaulatan rakyat,” ujar Ketua Kagama Cirebon Raya, Heru Subagia, Sabtu malam (24/8).
Dukungan 1.000 Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) hingga seruan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada menurut alumni Fisipol UGM tahun 1996, Heru yang pernah satu kegiatan mahasiswa dengan Ganjar Pranowo, mereka ingin mewujudkan demokrasi berkualitas, Ia menekankan untuk memperkuat pelembagaan demokrasi. “Reformasi tidak boleh berhenti, dan harus menyentuh hal-hal esensial bagi penataan ekosistem politik yang makin sehat,” katanya.
Heru menyampaikan pembiayaan politik yang mahal akan menimbulkan dampak serius pada sisi hilir. Ketika hal ini tidak dibicarakan secara terbuka, akhirnya tidak ada solusi untuk mengatasinya, sehingga demokrasi kita akan terjebak menjadi demokrasi yang berbiaya tinggi.
“Hal kedua yang menjadi fokus utama adalah budaya demokrasi. Artinya yang diperkuat bukan hanya kelembagaan, tetapi juga budaya demokrasinya,” tandasnya.
“Saya berpandangan bahwa budaya demokrasi akan makin berkualitas ketika sebagian besar warga semakin paham dan mengerti tentang hak-haknya sebagai warga negara, juga sekaligus mengerti tentang kewajibannya untuk membangun ruang-ruang bersama. Artinya demokrasi membutuhkan upaya pendidikan nilai-nilai demokrasi secara terus menerus,” kata Heru.
Ia menambahkan, membangun budaya demokrasi yang partisipatif dan inklusif, kualitas demokrasi akan dilihat dari sejauh mana masyarakat terlibat aktif dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan.