Ia menambahkan, upaya yang dilakukan DPR dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada merupakan tugas wakil rakyat sebagai pembuat UU. Ia mengatakan, lembaga yang berwenang membentuk norma dalam UU adalah DPR, bukan lembaga lain.
“Dengan demikian tindakan DPR melakukan revisi UU adalah konstitusional, alias tidak masuk kategori pembangkangan konstitusi,” kata Hasyim.
Dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai, putusan MK itu bersifat final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. Ketika putusan itu tak dilakukan, menurut dia, sama saja terjadi pembangkangan konstitusi.
Baca Juga:Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran Penyakit di Eropa Ingatkan Warga Waspada Risiko Virus MpoxKebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 Ludes
“Bila terus dibiarlan berlanjut, maka Pilkada 2024 adalah inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan,” kata dia, Rabu (21/8/2024).
Titi menilai, MK merupakan satu-satunya penafsir konstitusi yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945. Karena itu, semua elemen bangsa, termasuk emerintah dan DPR, harus menghormati dan tunduk pada putusan MK dengan tanpa kecuali.
Menurut dia, putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA. Pasalnya, putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap UU Dasar, sehingga harus dipedomani oleh semua pihak, tidak terkecuali DPR, pemerintah, dan MA.
“Ketika MK sudah memberi tasir, maka itulah yang harus diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang,” kata dia.
Sebelumnya, MK telah membuat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia calon kepala daerah, pada Selasa (20/8/2024). Dalam Putusan Nomor 60, MK mengurangi ambang batas pencalonan kepala daerah berdasarkan persentase perolehan suara sesuai dengan rentang daftar pemilih tetap (DPT), menjadi 6,5-10 persen.
Dalam Putusan Nomor 70, MK mengembalikan pemenuhan syarat usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan pasangan calon. Hal itu bertentangan dengan putusan MA yang menjadikan waktu pelantikan sebagai rujukan pemenuhan syarat usia calon kepala daerah.
Namun, sehari setelah, Baleg DPR melakukan pembahasan RUU Pilkada. Dalam RUU Pilkada yang telah disepakati mayoritas fraksi partai politik di DPR, ambang batas dalam putusan MK hanya berlaku untuk partai politik atau gabungan partai politik nonparlemen. Sementara partai politik yang memiliki kursi di DPRD tetap memiliki ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.