Sementara dari sisi orang yang dituduh sebagai dukun santet, cara lain untuk menyelamatkan nyawanya adalah meninggalkan desa tempat mereka tinggal. Dan pada akhirnya, warga yang terus-menerus tak mendapatkan solusi atas pelbagai kasus dukun santet, mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi dukun santet adalah dengan membunuhnya.
Meski dalam catatan Nicholas Herriman sumpah pocong dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan kasus sumpah pocong, tapi mayoritas praktik sumpah ini dapat mengatasi konflik. Hal ini kemudian kerap hadir dalam persidangan kasus perdata.
Badriyah Harun dalam Tata Cara Menghadapi Gugatan (2010) menjelaskan, terdapat tiga jenis sumpah yang dijadikan alat bukti keperdataan, yakni sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah penaksiran.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Ia menambahkan, ketiga sumpah tersebut bersifat memberikan keterangan untuk meneguhkan sesuatu apakah benar atau tidak, atau berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak.
Menurutnya sumpah pemutus adalah sumpah yang diminta oleh pihak lawan pada pihak lainnya. Menolak untuk melakukan sumpah pemutus mengakibatkan dikalahkannya bukti, baik itu dari tergugat maupun penggugat.
“Sumpah pemutus dikenal dengan sumpah pocong, sumpah kelenteng, ataupun sumpah mimbar/gereja,” tulisnya.
Hal serupa ditulis Nur Muhammad Wahyu Kuncoro dalam Jangan Panik Jika Terjerat Kasus Hukum (2011). Ia menyampaikan, dalam sumpah pemutus, pihak yang memerintahkan kepada lawan untuk bersumpah disebut defferent. Sumpah ini harus litis dicissoir, artinya harus bersifat menentukan. Dan sumpah ini salah satunya dapat berupa sumpah pocong yang dilakukan di masjid.
Sementara pendapat berbeda disampaikan Wahyu Muljono dalam Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia (2012). Ia menilai sumpah pocong bukan termasuk sumpah pemutus karena tidak diatur dalam pelbagai aturan.
“Tidak ada aturannya […] penulis beranggapan bahwa sumpah pocong ataupun sumpah kelenteng itu bukan sumpah pemutus. Karena baik aturan kelenteng maupun aturan hukum Islam, tak mengatur masalah tersebut, juga KHU Perdata tidak mengenalnya,” terangnya. (*)