Laporan ICW dan Trend Asia merinci PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA) yang merupakan bagian dari Sinar Mas menjadi perusahaan batu bara penerima total uang terbesar dari pelbagai lembaga keuangan. Adapun, saham PT DSSA dipegang oleh keluarga Widjaja. Pendiri Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja menempati jajaran orang terkaya Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp 140 triliun saat ia masih hidup.
DSSA menerima pinjaman dari 25 lembaga keuangan, termasuk bentuk pinjaman sindikasi, sedikitnya Rp 63 triliun dalam kurun waktu 2020–2022. Lembaga keuangan nasional yang tercatat ialah Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Danamon, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Permata, Bank Central Asia (BCA), dan Bank Syariah Indonesia.
Secara formal, perbankan nasional seperti Bank Mandiri, memiliki komitmen mengurangi pembiayaan batu bara. Dalam laporan tahunannya, Bank Mandiri menyampaikan tidak akan membiayai proyek yang membahayakan lingkungan. Tapi rupanya, Bank Mandiri masih menyalurkan dana untuk industri batu bara, salah satunya untuk pembangkit listrik batu bara khusus industri (PLTU captive) smelter aluminium milik grup Adaro di Kalimantan Utara. PLTU ini akan berkontribusi pada pencemaran udara sebab melepas sekitar 5,2 juta ton CO2 per tahun.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
“Terlihat sangat jelas sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo bagaimana ekosistem politik, hukum, maupun ekonomi yang dibangun justru berpihak pada kepentingan industri batu bara semata. Padahal, sudah jelas bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar,” kata Yassar.
Sementara itu, Periset Trend Asia Zakki Amali mengatakan dukungan finansial tersebut merupakan pengingkaran sektor keuangan pada prinsip-prinsip iklim Perjanjian Paris yang memastikan aliran pendanaan konsisten dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan pembangunan yang berketahanan iklim. Fenomena ini, kata dia, mengindikasikan lemahnya komitmen transisi energi dari perbankan nasional dan pemerintah yang masih memberikan ruang fiskal untuk energi kotor.
Oleh karena itu, Zakki mengatakan Indonesia harus memiliki komitmen kuat terhadap Perjanjian Paris dengN menghentikan dukungan pembiayaan industri batu bara. “Upaya ini untuk mendorong perusahaan berhenti melakukan ekspansi proyek dalam bentuk apapun, termasuk PLTU batu bara maupun perizinan pembangunan pembangkit listrik untuk industri (PLTU captive). Perlu upaya serius untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi dan tidak lagi melakukan segala bentuk greenwashing dan climate delay dalam regulasi maupun kebijakan investasi di Indonesia,” kata dia. (*)