Seiring keberhasilannya menaklukkan Mataram, ambisi Trunojoyo semakin liar. Ia mulai menyebut dirinya panembahan, bahkan raja, dan mengaku titisan Majapahit. Alih-alih menjadi bawahan Raden Mas Rahmat, Trunojoyo lebih tertarik menjadi sultan.
Raden Mas Rahmat atau Amangkurat II memang berhasil menggantikan ayahnya, tapi ia telah kehilangan harta, tentara, keraton, bahkan kerajaan. Satu-satunya cara untuk menegakkan kekuasaannya, termasuk menghancurkan sekutunya yang membelot, adalah menjalin kerja sama dengan VOC.
Pada Oktober 1677 dan Januari 1678, cucu Sultan Agung itu mengadakan perjanjian dengan VOC untuk menghancurkan pasukan Trunojoyo. Pada akhir 1679, pangeran Madura itu ditangkap di Jawa Timur lalu dihadapkan padanya. Setahun kemudian, Amangkurat II mengeksekusi sendiri bekas sekutunya.
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Sebagai imbalan, Amangkurat II memberikan hak monopoli kepada VOC untuk pembelian beras dan gula, juga impor tekstil dan opium, bebas pajak tol, pengakuan atas batas-batas kota Batavia yang mencapai seluruh dataran tinggi Priangan, juga kekuasaan atas salah satu kota pelabuhan terbesar di Jawa, Semarang.
Sejak saat itu, Semarang resmi berada dalam genggaman VOC.
Selain ramai dengan aktivitas perdagangan, Semarang juga populer di kalangan para arsitek sebagai Kota Karsten. Julukan ini merujuk pada nama seorang arsitek lulusan Delft Polytechnische School yang tiba di Hindia Belanda pada 1914, Herman Thomas Karsten.
Thomas Karsten lahir di Amsterdam, 22 April 1884. Ayahnya guru besar filsafat di Universitas Amsterdam, seorang Belanda totok, sementara ibunya berdarah Jawa.
Seturut Albertus Sidharta Muljadinata dkk dalam “Dominasi Konsep Lokal pada Rancangan Karsten” (2018:183), meski berlatar belakang arsitek, Karsten sering dilibatkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam urusan planologi.
Tak tanggung-tanggung, dari 19 penguasa lokal di Jawa, 12 di antaranya memercayakan perencanaan kotanya pada Karsten, demikian pula tiga penguasa lokal di Sumatra dan satu di Kalimantan. Mangkunegara VII juga memintanya menjadi penanggung jawab renovasi dan perluasan Puro Mangkunegaran.
Hingga kini, jejak karya Thomas Karsten bisa disaksikan di Batavia, Jatinegara, Sukabumi, Cirebon, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Magelang, Surakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang, Medan, dan Banjarmasin.
Dari sekian banyak kota, peninggalan Thomas Karsten paling mudah dijumpai di Semarang, yang menjadi tonggak perjalanan kariernya selama 30 tahun hidup di Hindia Belanda sekaligus laboratorium raksasa tempatnya bekerja.