KEPOLISIAN Daerah (Polda) Jawa Tengah (Jateng) membongkar sebuah jaringan mafia tanah yang beroperasi di Kota Salatiga. Korban dari jaringan tersebut adalah 11 petani dengan nilai kerugian sekitar Rp9 miliar.
Dirkrimsus Polda Jateng Kombes Pol Dwi Soebagio mengatakan, pengusutan kasus mafia tanah tersebut berlangsung pasca pelaporan tahun 2021. Terdapat 46 saksi yang diperiksa, termasuk permintaan keterangan dua ahli pidana, masing-masing dari Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro.
“Prosesnya memang cukup lama karena kami bisa mengetahui bahwa ini adalah suatu jaringan, mafia ya,” ujar Dwi ketika menggelar konferensi pers di Ditkrimsus Polda Jateng, Banyumanik, Semarang, Senin (29/7/2024).
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Polda Jateng telah menangkap tiga tersangka dalam kasus ini, yaitu DI (49 tahun), AH (38 tahun), dan seorang perempuan berinisial N (4 tahun). Ketiganya merupakan warga Kota Semarang. Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengungkapkan, modus operandi ketiga tersangka yakni menggerakkan para korban untuk menyerahkan sertifikat tanah mereka.
Para korban dalam kasus ini adalah 11 petani yang tinggal di Desa Bendosari, Kelurahan Kumpul Rejog, Kecamatan Arkomulyo, Kota Salatiga. “Para tersangka ini, dengan perannya masing-masing. Menggerakkan para korban untuk menyerahkan sertifikat tanahnya dengan cara memberi uang muka dan rangkaian kebohongan, yang mana sertifikat tanah tersebut diminta untuk cek bersih di BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ungkap Artanto.
Salah seorang tersangka, N, menipu korban dengan mengaku sebagai notaris. Hal itu meyakinkan para korban untuk menyerahkan sertifikat tanah mereka.
N dan DI merupakan kaki tangan dari AH. Dalam menjalankan aksinya, para tersangka menggunakan identitas palsu.
Setelah memperoleh sertifikat para korban, para tersangka, tanpa sepengetahuan masing-masing korban, melakukan balik nama atas sertifikat-sertifikat terkait. Sertifikat diubah kepemilikannya atas nama tersangka AH.
“Selanjutnya sertifikat tanah tersebut dijadikan agunan di salah satu bank oleh tersangka yang nominalnya lebih besar daripada harga pembelian ke korban. Dan sampai saat ini korban belum terbayarkan atau terlunaskan oleh tersangka,” kata Artanto.
Dia menambahkan tanah yang diperjualbelikan dalam kasus ini seluas 26.933 meter persegi. Dirkrimsus Polda Jateng Kombes Pol Dwi Soebagio mengungkapkan, sertifikat-sertifikat dari tanah tersebut kemudian diagunkan kepada sebuah bank milik pemerintah atau BUMN.