SALATIGA, sebuah kota kecil dengan luas kurang lebih 54,98 km2, tepat di tengah-tengah jalur darat Semarang menuju Solo. Salatiga, kota dengan perjalanan sejarah panjang dan memiliki banyak peninggalan kolonial.
Kota ini pun merupakan tempat kelahiran tiga pahlawan nasional dari tiga matra: Adi Sutjipto, Sudiarto dan Yos Sudarso.
Marcus Tullius Cicero mengatakan historia vitae magistra, sejarah adalah guru kehidupan Ambillah pelajaran dari masa lalu. Sejarah Salatiga runtut sejak zaman klasik (era desa Hampra), sekitar tahun 750 Masehi sebagaimana terpahat pada prasasti Plumpungan yang ditemukan di desa Kauman Kidul kecamatan Salatiga Luar Kota kabupaten Semarang (kini menjadi wilayah kecamatan Sidorejo).
Baca Juga:Kebakaran Kompleks Pertokoan Eks Hasil Pasar Raya 1 Salatiga Diduga Korsleting, 4 Kios di Blok A24-A27 LudesBPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan Nilainya
Salatiga tak lagi disebut hingga pada tahun 1746 VOC membangun benteng Hersteleer di pusat kota Salatiga (kemungkinan menjadi halaman depan mall Ramayana saat ini). Benteng Hock yang kini menjadi bagian dari Satlantas Polres Salatiga rupanya bukanlah benteng pertama di Salatiga karena baru dibangun pada abad ke-19.
Tahun 1757, terjadi perjanjian antara Pangeran Sambernyawa dengan VOC dan Sunan Paku Buwono III yang menandai berdirinya Pura Mangkunegaran. Perjanjian ini dilaksanakan di desa Kalicacing yang dikenal dengan nama Perjanjian Salatiga. Tempat dilaksanakannya perjanjian ini saat ini menjadi gedung Pakuwon di sebelah utara lapangan Pancasila.
Perjanjian penting lainnya yang terjadi di Salatiga yaitu Kapitulasi Tuntang pada 1811 tentang penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Inggris. Menurut Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917-1942 sebagaimana dikutip dari Willliam Heineman perjanjian tersebut sebenarnya tidak terjadi di Tuntang melainkan di Salatiga, tepatnya di Korem Salatiga saat ini. Cukup beralasan karena pada masa itu, jalan Diponegoro disebut dengan Toentangscheweg atau jalan Tuntang.
Buku ini fokus pada rasialisme yang diterapkan pemerintah kolonial di Salatiga. Sejak ditetapkan sebagai kotapraja, segala fasilitas perumahan, pendidikan, transportasi dan hiburan ditujukan hanya untuk warga kulit putih. Pendidikan yang dikhususkan untuk kaum bangsawan Bumiputera sebenarnya hanya dilakukan sekedarnya untuk mempekerjakan kaum Bumiputera sebagai tenaga rendahan di kantor pemerintah atau perusahaan kolonial.