YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama koalisi kelompok masyarakat sipil mendesak Polda DIY untuk menghentikan penyidikan terhadap pengacara LBH Yogyakarta pendamping kasus kekerasan seksual di Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah, sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Meila sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dengan Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Koalisi menilai penetapan tersangka Meila sebagai upaya kriminalisasi sekaligus serangan serius pada perempuan pembela HAM maupun korban kekerasan seksual.
“Penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap Perempuan Pembela HAM dan/atau pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air,” ujar Ketua YLBHI, M. Isnur dalam keterangan yang dikutip Sabtu (27/7/2024).
Baca Juga:BPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan NilainyaDemonstrasi Besar Mahasiswa di Bangladesh Berujung Kerusuhan, Ini Penyebab dan Jumlah Korban
Isnur mengatakan, penetapan Meila, yang merupakan pengacara publik LBH Yogyakarta, sebagai tersangka berawal ketika dia mengadvokasi 30 korban kekerasan seksual secara langsung maupun daring yang diduga dilakukan seorang mantan Mahasiswa berprestasi Universitas Islam Indonesia berinisial IM. Dalam pelaksanaan advokasi, Meila dibantu gerakan mahasiswa UII dan kelompok masyarakat sipil lain dalam upaya memberikan keadilan pada korban.
Pada tahun 2020, IM melaporkan 3 pengacara publik LBH Yogyakarta, termasuk Meila, ke Polda DIY dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyampaikan nama lengkap IM dalam konferensi pers. Meila pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam pelaporan IM.
Isnur mengatakan, penyidik perkara Meila dinilai tidak berdiri atas asas kredibilitas sesuai Perkapolri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri karena tidak memperhatikan maupun berupaya mencari fakta akurat tentang kasus kekerasan seksual. Selain itu, penyidik tidak mempertimbangkan temuan dari UII yang mencopot gelar mahasiswa berprestasi IM karena menemukan fakta perilaku IM telah membawa dampak buruk psikologis 4 korban dengan 1 korban sempat berpikir bunuh diri.
“Putusan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh Rektor UII diatas tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai kenyataan bahwa IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE tahun 2021 yang menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukan lah bagian dari delik pencemaran nama baik,” tegas Isnur.