DALAM Piagam Olimpiade, salah satu prinsip dasar kompetisi olahraga tersebut adalah “organisasi olahraga dalam Gerakan Olimpiade akan menerapkan netralitas politik.” Nyatanya, Olimpiade dan politik tak terpisahkan. Sebuah gerakan perlawanan di Asia, yang dimotori oleh Presiden Indonesia Sukarno hampir 60 tahun lalu berdampak pada politisasi Olimpiade.
Pada 1960-an, sebanyak 36 negara bergabung dalam Olimpiade tandingan: GANEFO, the Games of the New Emerging Forces. GANEFO dibentuk sebagai perlawanan terhadap Komite Internasional Olimpiade (IOC), “sebuah alat imperialisme,” menurut Presiden Sukarno. Sesudah GANEFO, IOC terpaksa menerima bahwa olahraga kerap bersifat politis.
GANEFO menyuguhkan tantangan yang belum pernah dihadapi IOC. “Olahraga memiliki kaitan dengan politik,” Sukarno berseru. Presiden IOC Avery Brundage menyesalkan “tantangan terhadap seluruh organisasi olahraga amatir internasional, yang tidak bisa diabaikan begitu saja.” Ada “yang namanya aturan dan peraturan,” dia membalas.
Baca Juga:BPS Catat Indonesia Masih Impor dari Israel Juni 2024, Berikut Data Jenis Barang dan Perkembangan NilainyaDemonstrasi Besar Mahasiswa di Bangladesh Berujung Kerusuhan, Ini Penyebab dan Jumlah Korban
GANEFO-lah, dan bukan Olimpiade Tokyo 1964, kejuaraan olahraga internasional besar pertama yang diselenggarakan di Asia. Sementara Jepang menggelar pesta besar untuk menandai kembalinya negara tersebut sebagai negara yang patuh hukum di panggung internasional menyusul Perang Dunia Kedua, Indonesia dan sekutu-sekutunya di GANEFO (anggota awalnya adalah Kamboja, Cina, Guinea, Indonesia, Irak, Mali, Pakistan, Vietnam, dan Uni Soviet) menolak aturan main yang berlaku.
GANEFO menghadirkan cara baru untuk mengorganisasi dan memahami olahraga internasional. Sejarahnya berasal dari Asian Games, kompetisi regional yang diselenggarakan empat tahun sekali di sela-sela dua kejuaraan Olimpiade Musim Panas.
Sebelas tim nasional mengikuti Asian Games pertama pada 1951, dengan Jepang mengumpulkan medali terbanyak. Sang tuan rumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, mengidentifikasi tujuan yang sangat politis: olahraga “menyatukan pemuda dari banyak negara sehingga membantu hingga titik tertentu dalam mempromosikan persahatan dan kerja sama internasional.” Asian Games berikutnya di Manila dan Tokyo menggunakan bahasa yang digunakan kejuaraan Olimpiade mengenai persaingan yang bersahabat serta promosi peran global negara tuan rumah.
Pada Asian Games Ketiga yang dibuka di Indonesia pada 1962 hal ini berubah. Menjawab keinginan negara-negara Arab dan Cina, pemerintahan Sukarno menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan.