“Saya prihatin dan sedih. Rumah itu terbengkalai dan beredar cerita-cerita mistis. Padahal, rumah itu menyimpan reputasi sejarah seorang tokoh dan sahabat ulama besar Buya Hamka. Ada kisah toleransi yang tidak banyak orang tahu. Seharusnya, persahabatan Buya Hamka dan Reuneker menjadi soko guru kota toleransi di Salatiga,” ungkap Tjandra Widyanta yang mendampingi delik selama penelusuran keluarga Reuneker, Rabu (17/7).
Pada masa kolonial, Salatiga penuh dinamika karena Pemerintah Hindia-Belanda seakan-akan tak mau berhenti menatanya. Wilayah ini ditetapkan sebagai stadsgemeente* oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum melalui StaatsbladNo. 266 pada tanggal 25 Juni 1917. Status Salatiga kemudian meningkat menjadi gemeente* pada 1926.
Pada hakikatnya, perkembangan Salatiga sejak ditetapkan sebagai gemeente sampai dengan pergantian pendudukan Jepang dapat dikatakan baik. Hal ini disebabkan Salatiga sebagai kota kolonial dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan sarana penunjang, termasuk tempat peribadatan dan militer.
Baca Juga:Demonstrasi Besar Mahasiswa di Bangladesh Berujung Kerusuhan, Ini Penyebab dan Jumlah KorbanKomnas HAM Terjun Langsung Tangani Kasus Kematian Wartawan TribrataTV di Karo
Salatiga memiliki berbagai peninggalan bersejarah, baik yang berupa benda maupun tak benda. Keberadaan bangunan-bangunan bersejarah pun menjadi aset milik pemerintah daerah. Namun, kenyataan yang terjadi, jumlah bangunan bersejarah yang beralih fungsi semakin hari semakin bertambah. (*)