SIKAP politik internasional Indonesia atas invasi Israel terhadap Palestina selalu jelas: menentang. Namun, sejarah juga mencatat Indonesia rupanya pernah main mata dengan Israel.
Salah satu cerita fenomenal terkait itu saat kunjungan senyap Perdana Menteri (PM) Israel Yitzhak Rabin ke Indonesia menemui Presiden Soeharto. Tidak di Istana Negara, tapi di rumah pribadinya di Jl. Cendana, pada Oktober 1993 silam.
Rabin ke Indonesia berlangsung dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Asia. Saat itu, Rabin berupaya mempromosikan perdamaian di Timur Tengah, khususnya terkait konflik Israel-Palestina.
Baca Juga:Demonstrasi Besar Mahasiswa di Bangladesh Berujung Kerusuhan, Ini Penyebab dan Jumlah KorbanKomnas HAM Terjun Langsung Tangani Kasus Kematian Wartawan TribrataTV di Karo
Pada September 1993, dia memang sudah menandatangani Perjanjian Oslo bersama pemimpin PLO, Yasser Arafat. Poin penting dari perjanjian itu, salah satunya, pemberian kedaulatan kepada rakyat Palestina di Gaza serta Tepi Barat.
Beranjak dari sini, Rabin ingin mempromosikan perdamaian ke Presiden Soeharto, pemimpin dari negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia dan Kepala Gerakan Non-Blok (GNB).
“Rabin ingin memperlihatkan kepada lawan politiknya yang menentang perjanjian damai PLO-Israel bahwa ia telah didukung Cina sebagai negara berpenduduk terbesar, yakni 1,2 miliar dan GNB yang beranggotakan 110 negara dengan Indonesia, berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sebagai ketuanya,” kata Nazaruddin Sjamsuddin, Guru Besar FISIP UI, dikutip dari Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam berita: 1993 (2008).
Soeharto setuju atas inisiatif Rabin. Meski di sisi lain, banyak elit juga yang menentangnya. Oleh karena itu, pertemuan dilakukan secara senyap alias diam-diam. Tidak seperti tamu negara lain, Soeharto lebih memilih menerima Rabin di kediaman pribadi Jl. Cendana ketimbang Istana Negara.
Tercatat pada 15 Oktober 1993, Soeharto menerima kunjungan PM Israel Yitzhak Rabin. Tak ada media yang memberitakan. Hanya para elit yang tahu. Jurnalis dan media baru mengetahui kunjungan Rabin itu empat jam setelah PM Israel itu lepas landas dari Jakarta.
“Mempertimbangkan gesekan isu-isu sensitif agama yang dipertaruhkan,” kata Retnowati Abdulgani-Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second Presiden (2007).
Barulah setelahnya kabar pertemuan itu mencuat di media. Kontroversi langsung datang. Pihak istana langsung buru-buru membuat klarifikasi melalui Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono. Moerdiono beralasan bahwa pertemuan Soeharto bukan berkapasitas sebagai Presiden Indonesia, tapi Kepala Gerakan Non-Blok.