Antara Kutukan Diplomatik dan Dagang Bareng Israel Jalan Terus

Ilustrasi (Shutterstock)
Ilustrasi (Shutterstock)
0 Komentar

Terdapat satu petikan pernyataan menarik dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai Israel saat diwawancara secara eksklusif oleh Najwa Shihab dan ditayangkan di Youtube pada hari Selasa, 4 April 2023.

Ganjar yang dianggap menjadi biang kerok pembatalan status tuan rumah Piala Dunia U-20 Indonesia akibat sikap penolakannya terhadap kehadiran Timnas Israel, menyinggung soal politik luar negeri Indonesia terhadap isu Israel-Palestina yang mungkin memang harus ditinjau ulang.  

“Atau jangan-jangan kita harus me-review politik luar negeri kita, mari kita duduk kalau begitu. Undang partai politik, tokoh bangsa, tokoh agama duduk bersama agar kemudian menjadi konsensus bangsa untuk menyikapi itu (Israel),” begitu ujar Ganjar. 

Baca Juga:Komnas HAM Terjun Langsung Tangani Kasus Kematian Wartawan TribrataTV di Karo4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai Jebol

Nyatanya, sejak bersepakat bahwa Indonesia mendukung habis kemerdekaan Palestina sejak era Soekarno, kegamangan dan politik luar negeri yang seolah tak jujur terhadap Israel sering kali terlihat. Ihwal itu juga disiratkan Ganjar dan kemungkinan dirasakan bersama oleh sebagian pihak di Indonesia. 

Tak hanya dari impresi kesia-siaan di kutukan diplomatik, langkah konstruktif aspek lain untuk mendorong perdagangan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia pun turut tertahan akibat nihil relasi resmi. Padahal, sikap politik luar negeri yang revolusioner kiranya sudah harus diimplementasikan. 

Perubahan itu sendiri sebenarnya pernah digagas oleh oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagaimana dijelaskan Anthony Smith dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?. 

Gus Dur bahkan berupaya mempraktikkannya. Melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu Alwi Shihab, Indonesia berupaya melobi kepentingan Palestina dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sayangnya, langkah progresif itu harus kandas saat Gus Dur lengser. 

Pun, Niruban Balachandran dalam In defense of Istibsyaroh menyebut politik luar negeri Indonesia memang membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka. Utamanya tentang evaluasi dan perubahan konkret mengenai peran Indonesia pada isu Israel dan Palestina. 

Normalisasi dan membuka hubungan diplomatik resmi kiranya dapat menjadi langkah revolusioner awal. Setidaknya, mereka yang pro gagasan ini melihat Indonesia bisa memiliki daya tawar dan peran lebih aktif dalam relasi Israel yang berkaitan dengan Palestina. 

0 Komentar