Antara Kutukan Diplomatik dan Dagang Bareng Israel Jalan Terus

Ilustrasi (Shutterstock)
Ilustrasi (Shutterstock)
0 Komentar

Vibeke Schou Tjalve and Michael C. Williams dalam Reviving the Rhetoric of Realism: Politics and Responsibility in Grand Strategy menjelaskan pernyataan kutukan atau condemnation sebagai bentuk shaming (mempermalukan) saat sebuah negara tak sepakat dengan langkah negara lainnya dalam suatu persoalan. 

Tjalve dan Williams menyebutnya sebagai retorika, baik dalam kerangka idealisme naif maupun yang signifikansinya murni terkait rasionalisasi atau penyamaran strategi besar yang ditentukan oleh banyak kepentingan. 

Sementara itu, Nadia Rojahn Martinsen dalam “We strongly condemn…”: Norwegian governments’ Foreign Policy Statements as Political Tool or Moral Stance? turut membedah makna dan efektivitas kutukan diplomatik dengan mengambil sampel Norwegia. 

Baca Juga:Komnas HAM Terjun Langsung Tangani Kasus Kematian Wartawan TribrataTV di Karo4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai Jebol

Juga berangkat dari tendensi realis yang dikemukakan Tjalve dan Williams mengenai condemnation, Martinsen berkesimpulan bahwa Norwegia (dan banyak negara lainnya) tidak secara eksklusif mengutuk berdasarkan moral. 

Di balik sebuah kutukan atau condemnation, terdapat kalkulasi risiko, kepentingan nasional, status seeking atau tujuan impresi status/reputasi di mata internasional, sampai pemahaman atas efektivitas kutukan itu sendiri. 

Khusus mengenai efektivitas, sejumlah analis dan pakar hukum dan hubungan internasional menilai dampak dari kutukan diplomatik sangatlah rendah.  

Salah satunya yang dijelaskan oleh Emilie M. Hafner-Burton dalam Sticks and Stones: Naming and Shaming the Human Rights Enforcement Problem. 

Hafner-Burton menilai kutukan terutama yang terkait kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM) sering kali diabaikan oleh negara yang dikutuk. Bahkan, efeknya sama sekali tidak ada. 

Dengan kata lain, kutukan diplomatik terhadap “pelanggaran” yang dilakukan negara lain dapat dikatakan tak selalu bermakna pernyataan moralitas, tetapi menjadi alat politik yang saling tumpang tindih dan ironisnya jamak tak berkontribusi apa pun secara konkret. 

Kedua, efektivitas kutukan yang minim juga berkaitan dengan relasi spesifik di bidang lain di antara negara yang mengutuk dengan yang dikutuk. 

Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga

Lalu, meski kutukan diplomatik tetap dianggap penting sebagai pernyataan sikap, pernyataan suatu negara belum tentu senada dengan rakyatnya. 

0 Komentar