“Dia telah pakai pakaian dan telah saya ambilkan sepatunya. Sebentar mau pergi tengok Pak Hamka. Tiba-tiba dia jatuh, saya sambut dan mau tidurkan dia, tidak lama dalam pangkuan saya dia pun sudah pergi! Rupanya Tuhan menentukan Pak Hamka yang datang tengok dia…,” jelasnya kemudian.
“Dia kelihatan tenang. Air mata menggenang saja di rongga matanya,” tulis Hamka tentang reaksi istri Reuneker. Hamka tak ragu menyebut istri Reuneker sebagai penganut taat Katolik.
Esoknya, jenazah Reuneker dibawa ke Salatiga untuk dikuburkan di sana. Zaki, atas nama keluarga Hamka, turut mengantarkan hingga selesainya prosesi penguburan menurut agama almarhum.
Baca Juga:4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai JebolIbu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa Hukum
Budi baik terkenang juga! Begitu Hamka menutup kenangannya pada sang jiran karib. Amat pantas Hamka menyebut kebaikan Reuneker, yang semasa hidupnya dalam bertetangga selalu membantu tanpa pamrih. Dalam iman yang berbeda, tak ada saling melukai perasaan.
“Pergaulan kami bertetangga adalah sangat baik. Timbal balik,” jelas Hamka, masih dalam tulisan tentang Reuneker. Hamka, selaku kepala keluarga, adalah contoh pertama bagi semua penghuni rumah.
Dalam buku Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sebuah nama seperti segan disebutkan. Dalam bab “Toleransi”, disebutkan tetangga Hamka yang “warga negara keturunan Belanda beragama Kristen”. Sosok tersebut bisa dipastikan adalah Reuneker.
delik yang bermarkas di Jalan Osamaliki 29 Salatiga tergelitik mencari tahu keberadaan keluarga Reuneker. Dahulu, di Salatiga memang terdapat seorang arsitek Belanda bernama Johan Leonard Reuneker. Lebih dari separuh hidupnya dia tinggal di Salatiga dan menyimpan jejak seorang arsitek dan seniman wayang. Selain mendirikan “Villa Reuneker”, tahun 1910 ia mendirikan “Villa Henriette” di Purwosari Kota Solo sebagai villa dan kantor arsitek “Firma Kluister & Reuneker”.
Firma berizin resmi 12 Maret 1914 menggandeng J.Th. van Oyen dari Semarang dengan Perusahaan Beton Surabaya, menata dan mengembangkan Kota Solo. Proyek pertama, 26 Juni 1920 membangun Gedung Wayang Tooneel di Pasar Legi dan Schouwburg di Pasar Pon Solo.