Pada 1958, seorang anak Hamka, Irfan, menderita sakit yang cukup parah. Akibat sakit yang dideritanya, sekolahnya telantar setahun. Berbulan-bulan ia dirawat di rumah sakit, bahkan sampai pernah diopname. Menurut dokter ahli yang merawatnya, Irfan terlalu banyak membaca karangan ayahnya yang berat-berat, baik tasawuf ataupun filsafat.
“Dia musti diistirahatkan. Kalau tidak jiwanya bisa jadi rusak! Masih anak-anak sudah merasakan hendak jadi orang tua!” kenang Hamka tentang kejadian itu, seperti dituliskan dalam Panji Masyarakat nomor 216 – 1 Februari 1977.
Umur Irfan ketika itu 15 tahun. Tetangga mereka, Reuneker, menawarkan diri untuk membantu pemulihan jiwa Irfan. Ia memang berencana membawa putra jirannya itu ke rumah orangtuanya di Salatiga. Kepedulian terhadap tetangga kecilnya itu tak semata dalam urusan kesehatan, melainkan juga dalam peribadahan. Saat di Salatiga, istri Reuneker menyediakan tikar khusus buat shalat Irfan. Bahkan, kata Hamka, Nyonya Reuneker tak sungkan-sungkan mengingatkan Irfan agar shalat pada awal waktu.
Baca Juga:4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai JebolIbu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa Hukum
Sebulan lamanya Irfan dirawat keluarga Reuneker. Hasilnya, ia lebih gemuk dan riang. Tak disebutkan dalam tulisan Hamka, bagaimana keluarga Reuneker melakukan semuanya. Yang jelas, setelah itu jalinan perkariban Hamka dan Reuneker kian kuat. Sampai kemudian terjadi penangkapan Hamka oleh aparat atas tuduhan subversif pada 27 Januari 1964.
“Di saat seperti itu jelas siapa sahabat setia dan siapa sahabat yang penakut,” tutur Hamka. “Sebelum datang percobaan, banyaklah orang yang mendekat. Kalau duduk di dalam Masjid Agung (Al Azhar), baik sehabis sembahyang subuh atau sehabis maghrib, banyak yang berkerumun, dan kalau bercakap banyak yang memuji. Tetapi setelah dapat cobaan yang demikian (penangkapan), mulailah istri dan anak-anak di rumah merasakan kesepian.”
“Orang yang dahulunya begitu dekat, sekarang banyak yang menjauh, karena ‘takut kena getahnya’. Ada yang berjalan menekur saja, jika terpaksa lewat di hadapan rumah kami. Hanya sedikit tinggal kawan, di antara yang sedikit itu ialah Saudara Reuneker.” Demikian Hamka mengenang.
Ya, Reuneker selalu mampir ke rumah jirannya guna menemui Siti Raham, istri Hamka, dan anak-anak Hamka. Tak hanya diri Reuneker, istri dan anak-anaknya pun bersikap sama. Mereka seakan-akan tidak merasakan adanya pengucilan sebagian masyarakat terhadap keluarga Hamka. Yang ada malah sebaliknya, Reuneker secara demonstratif memperlihatkan simpati dan solidaritas untuk beban yang ditanggung keluarga Hamka.