POLEMIK lima tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mengunjungi Israel dan melakukan pertemuan dengan Presiden Israel Isaac Herzog, seolah menjadi preseden bagi individu atau lembaga di Indonesia bebas tanpa aturan melakukan hubungan negara Israel.
Diketahui, pemerintah Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel karena mendukung penuh kemerdekaan Palestina. Indonesia juga terus menggalang dukungan banyak negara, untuk menekan Israel agar menghentikan genosida di Gaza.
Di sisi lain, masih banyak individu — maupun lembaga non-pemerintah di Indonesia yang menjalin lobi-lobi dan melakukan dialog dengan pihak Israel, berdalih memenuhi undangan, urusan akademik dan sebagainya.
Baca Juga:4 Kecamatan 9 Desa 16.422 Jiwa Terdampak Banjir di Cirebon: Tanggul Sungai JebolIbu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa Hukum
Seperti yang dilakukan 5 tokoh muda NU yang melakukan kunjungan ke Israel, melakukan dialog antaragama dan ujungnya bertemu Presiden Israel Isaac Herzog.
Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), Heru Subagia alumnus Hubungan Internasional Fisipol angkatan 1996 mengungkapkan alasan mengapa Gaza kerap menjadi daerah rawan konflik Palestina-Israel. “Kalau di Gaza, itu yang saya amati seperti periodik. Jadi, sejak 2008, Gaza itu jadi target Israel untuk diserang karena Hamas ada di sana, di mana Hamas ini merupakan gerakan yang mencita-citakan kemerdekaan Palestina. Gaza itu adalah wilayah yang dulu milik Mesir, kemudian diambil oleh Israel setelah perang 1967. Tapi kemudian perundingan Oslo 1993 wilayah Gaza merupakan wilayah otoritas, jadi bukan wilayahnya Palestina. Masih jadi wilayah Israel di dalam de facto nya sejak 1967,” ucap Heru, Rabu (17/7).
Wilayah Gaza merupakan wilayah sempit yang dihuni lebih dari dua juta orang, adalah salah satu wilayah terpadat di dunia. Negara ini telah mengalami ketidakstabilan politik, konflik militer, dan isolasi ekonomi selama beberapa dekade, sehingga membuat penduduknya terjebak dalam siklus keputusasaan yang tidak pernah berakhir. Dengan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja, warga Gaza menghadapi tantangan berat setiap hari.
“Di dunia di mana narasi yang memecah belah sering kali mendominasi berita utama, mari kita ingat bahwa rasa kemanusiaan kita adalah kekuatan pemersatu. Dengan bersatu mendukung perdamaian, kita dapat membantu Gaza dan Israel semakin dekat menuju masa depan di mana penderitaan memberi jalan bagi harapan dan kemakmuran,” tandas Heru.