Banyak pihak yang percaya bahwa Dana Revolusi benar-benar ada. Menurut sebagian orang, Bung Karno pernah menyimpan harta senilai jutaan dolar AS di sejumlah bank di Eropa sebelum jatuh dari kekuasaannya.
Harta itu diperkirakan senilai 135 juta hingga 15 miliar dolar yang terdiri dari Dana Revolusi untuk membiayai anti-imperialisme di Irian Barat dan Kalimantan, warisan kerajaan-kerajaan Nusantara yang dikumpulkan Soekarno, atau yang ditemukan pada zaman penjajahan.
Namun sejarawan Onghokham adalah salah satu orang yang selalu skeptis mengenai cerita-cerita seperti itu. Menurutnya, jika ada harta kerajaan zaman dahulu, para raja mendapatkan dari rakyat.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Padahal dari dahulu hingga sekarang, jelasnya, sistem perpajakan raja tak pernah sempurna. Kerajaan Mataram yang telah berdiri 100 tahun pada 1678 tercatat terpaksa meninggalkan harta karunnya yang hanya 2,5 juta ringgit.
Kerajaan Mataram bahkan tak pernah bisa melunasi utang kepada VOC. Karena itu, kerajaan ini merupakan negara Asia pertama yang dihadapkan pada beban utang besar luar negeri, jadi baginya tak mungkin meninggalkan harta karun.
Pulau Jawa juga tak pernah dikenal memiliki tambang emas atau berlian. Tidak pernah terdengar dalam sejarah tentang berlian besar yang menghiasi mahkota raja dan keluarganya seperti intan Koh i Noor dari India yang menghiasi mahkota Inggris.
Jika mengacu pada data-data sejarah, tampaknya Soekarno tidak memiliki harta sebanyak itu. Fakta sejarah memaparkan bahwa selama menjadi Presiden Soekarno hidup kesulitan. Hal ini diungkap oleh Soekarno sendiri dalam wawancaranya kepada jurnalis AS, Cindy Adams.
Soekarno menyebut kalau gajinya selama jadi presiden hanya US$ 220. Dia pun tidak memiliki rumah dan tanah. Karenanya, wajar apabila dia hidup dari istana ke istana yang dimiliki negara.
Bahkan, tutur Soekarno, dia pernah dibelikan piyama oleh duta besar saat kunjungan ke luar negeri. Duta besar itu merasa kasihan karena Sukarno memakai baju tidur yang sudah robek.
“Adakah Kepala Negara yang melarat seperti aku dan sering meminjam-minjam dari ajudannya?” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1964).