Seperti diungkap sebelumnya, perjanjian itu ditandatangi oleh Presiden AS John F Kennedy dan Presiden RI Ir Soekarno dengan saksi tokoh negara Swiss William Vouker. Perjanjian ini menyusul MoU diantara RI dan AS tiga tahun sebelumnya.
Point penting dari perjanjian itu adalah diakuinya 50% keberadaan emas murni batangan milik RI yang tersimpan di luar negeri, yaitu sebanyak 57.150 ton dalam kemasan 17 paket emas oleh pihak Amerika Serikat (pihak pertama).
Sementara dari pemerintah RI (pihak kedua) menerima batangan emas itu dalam bentuk biaya sewa penggunaan kolateral dollar yang diperuntukkan untuk pembangunan keuangan AS. Perjanjian itu dikabarkan berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Pernyataan lebih penting tentang isi perjanjian itu adalah biaya sewa yang ditetapkan sebesar 2,5% setiap tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya, dan dibayarkan ke sebuah account khusus.
Account itu bernama The Heritage Foundation (The HEF) yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas persetujuan Sri Paus Vatikan. Sedang pelaksanaannya dilakukan Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).
Kesepakatan ini berlaku dalam dua tahun ke depan sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut, yakni pada 21 November 1965. Berbagai otoritas moneter maupun kaum monetarist menilai, perjanjian itu sebagai fondasi kolateral ekonomi perbankan dunia hingga kini.
Ada pandangan khusus para ekonom, AS dapat menjadi negara kaya karena dijamin hartanya rakyat Indonesia. Pandangan ini melahirkan opini kalau negara AS memang berutang banyak pada Indonesia, karena harta itu bukan milik Pemerintah AS, tetapi harta raja-rajanya bangsa Indonesia.
Bagi politikus Amerika Serikat, perjanjian The Green Hilton Agreement merupakan perjanjian paling bodoh yang dilakukan pemerintah AS. Karena dalam perjanjian itu, AS mengakui aset emas bangsa Indonesia.
Ketika itu para raja dan kalangan bangsawan yang pro atau tunduk kepada Belanda lebih suka menyimpan harta kekayaannya.
Harta yang disimpan para raja itu biasanya dalam bentuk emas batangan, dan tersimpan di bank sentral milik kerajaan Belanda di Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia).