SUATU hari pada tahun 1960-an awal. Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit menghampiri Julius Tahija. Hari itu sedang dihelat sebuah resepsi pemerintahan. Entah acara apa, Julius Tahija tak menyebutnya.
“Kami sudah saling kenal bertahun-tahun,” ungkap Tahija dalam buku otobiografinya yang berjudul Julius Tahija.
Menurut Tahija, mereka satu almamater ketika menimba ilmu di Sekolah Dagang Belanda, di Jakarta.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
“Ia seorang yang santun dan berbudaya,” begitu Tahija menggambarkan sosok D.N Aidit, yang kala itu duduk dalam kabinet Soekarno.
Sembari minum teh, dua sekondan lama itu, larut dalam perundingan soal prinsip hidup masing-masing.
Aidit mengedepankan soal kemandirian ekonomi nasional. Tahija berpikiran lain.
“Orang-orang yang percaya pada usaha swasta seperti saya punya rasa tanggung jawab yang besar,” sahut Tahija.
“Ia (Aidit–red) memuji pengetahuan saya mengenai retorika kapitalis,” kenangnya.
Tahija melanjutkan. “Aidit dan saya tahu bahwa kami mempunyai ideologi yang berbeda, dan salah satu di antara ideologi kami akan menguasai negeri ini.”
Sebelum berpisah, dua kawan lama pun “bertaruh”. Salah satu di antara keyakinan mereka akan lenyap sebelum perdebatan itu berakhir.
Tahija di Amerika ketika hura-hara Gerakan 30 September 1965 meletus di Indonesia.
Sejak awal September 1965, sebagaimana diceritakannya, dia ke San Fransisco menghadiri Konferensi Industri Internasional. Keluarganya diboyong serta.
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
“Saya mengikuti perkembangan dalam negeri dari surat kabar dan telepon ke Indonesia,” tuturya.
Suatu hari, “televisi Indonesia menyiarkan tempat persembunyiannya (Aidit–red) dan menyorot jenazahnya dengan jelas.”
Tahija kembali ke Jakarta setelah memastikan keadaan sudah aman.
Tahija menceritakan…setelah lebih dari satu tahun melakukan manuver politik, akhirnya Soeharto menggantikan Soekarno sebagai presiden.
Dalam tempo waktu itu pulalah, Freeport bermanuver memuluskan jalannya menambang “harta karun” tanah Papua.
Februari 1966, Julius Tahija menyambut kedatangan para eksekutif Freeport di Jakarta. “Saya menolong mereka,” tulis Julius Tahija.
Dikisahkah, saat itu Freeport bersaing ketat dengan perusahaan tembaga dari Perancis. Perusahaan itu meminta Kedutaan Perancis melobi pemerintah Indonesia.