Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008: 219) mengisahkan bahwa suksesi kekuasaan kerajaan Jawa naik ke level yang lebih rumit tatkala Mas Said juga mendirikan dinasti sendiri. Selepas Perjanjian Giyanti 1755 yang memecah Mataram menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta, Mas Said memilih berdamai dengan Pakubuwana III dan mendapat gelar Mangkunegara I.
Solo akhirnya dikuasai dua dinasti besar: Kasunanan dan Mangkunegaran. Persoalan diplomasi lantas muncul dengan sendirinya ketika dua kutub kekuatan yang pernah saling bermusuhan tiba-tiba tinggal di bawah atap yang sama. Alih-alih kembali berperang, keduanya terus berusaha memaksakan kekuasaan masing-masing lewat adu siasat berupa perkawinan politik yang kelewat berbelit-belit.
Pakubuwana III tidak punya anak laki-laki. Ditambah lagi, Ratu Bendara, istrinya sekaligus putri Mangkubumi, menceraikannya atas desakan sang ayah. Jaring-jaring persekongkolan di Istana Surakarta pun mulai terlihat ketika semakin banyak pejabat kerajaan yang menilai karakter Pakubuwono III sebagai raja yang lemah. Pada 1762 Mangkunegara I melihat celah untuk mengawinkan putranya dengan putri sulung Susuhunan yang memberinya peluang besar menggantikan raja.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Pada 1760-an situasi politik di Jawa Tengah bagian selatan, khususnya Solo, dapat dikatakan mulai stabil. Percobaan membagi-bagi wilayah kerajaan yang diikuti kemunculan dinasti baru makin lama makin pudar. Setidaknya demikian sampai Perang Jawa (1825-1830) meletus dan membuat peta kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran kembali berubah. (*)
Penulis: Bondhan W