Tidak hanya itu, posisinya sebagai Wali Kota Solo juga membuatnya memiliki modal sosial yang lebih luas. Relasi sosial Gibran mau tidak mau akan terbangun dengan sendirinya.
Modal-modal ini menjadikan Gibran punya pengaruh penting dalam kepentingan elektoral PDI Perjuangan, yang mana juga tidak ingin kehilangan sejumlah suara di Jawa Tengah (Jateng) yang selama ini menjadi basis suara partai berlambang banteng tersebut.
Dengan modal-modal yang ditransformasikan menjadi modal politik ini, bukan tidak mungkin, Gibran bisa memiliki pengaruh lebih untuk mempengaruhi politik elektoral – setidaknya di Solo yang juga merupakan kendang dari PDIP.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Namun, itu semua kembali kepada bagaimana Gibran mengakumulasikan, mentransformasikan, hingga menerapkan modal-modal politiknya. Semua keputusan itu kembali ke diri Gibran dan mungkinnya ayahnya, Presiden Jokowi.
Satu hal yang harus diingat, Solo pernah menjadi pusat pergolakan dinasti politik Jawa di akhir periode Kesultanan Mataram. Kerajaan Islam terbesar yang berhasrat mempersatukan Jawa ini terpecah dengan meninggalkan calon-calon penerus wangsa Mataram yang saling berselisih. Para pangeran memberontak berlandaskan ambisi dan kepentingan masing-masing hingga terpaksa diadakan pembagian kerajaan.
Pakubuwana II, penguasa terakhir Kasunanan Kartasura, memutuskan meninggalkan istananya yang sudah kacau balau. Pada 1746 dia mendirikan keraton baru di Surakarta yang berjarak sekitar 12 kilometer dari tepian Bengawan Solo. Sayangnya, kepindahannya ternyata tidak berdampak apa-apa pada kondisi politik kerajaan yang sudah kadung runyam.Di lain pihak, Raden Mas Said, cucu Sunan Amangkurat IV dari Kartasura, masih terus mengangkat senjata melawan keraton Surakarta. Beberapa saat setelah Pakubuwana II memindahkan pusat kerajaan, Mas Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang membelot karena merasa prinsip kerajaan Jawa di Surakarta sudah dilanggar.
Pada 1749 VOC mengangkat Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II, sebagai raja baru menggantikan ayahnya yang sakit keras. Bergelar Pakubuwana III, dia menjadi raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.
Bisa dibayangkan betapa jengkelnya Mangkubumi dan Mas Said mendengar hal tersebut. Di tahun yang sama, Mangkubumi melantik dirinya sendiri menjadi raja dengan gelar Hamengkubuwana dan Mas Said sebagai patihnya. Mereka mendirikan markas di Yogyakarta yang merupakan daerah lama Mataram.