Berdasarkan U.S. Bureau of Economic Analysis, nilai impor barang AS dari China meningkat dari sekitar US$100 miliar pada tahun 2001 menjadi lebih dari US$400 miliar pada tahun 2023.
Lompatan impor ini sebagian disebabkan oleh posisi penting China dalam rantai pasokan global. Pabrik-pabrik China diketahui merakit produk untuk diekspor ke AS.
Sri Mulyani menambahkan bahwa semua negara memberlakukan kebijakan industrial untuk mengamankan ekonomi dan industrinya masing-masing.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Misalnya di AS, terdapat Inflation Reduction Act (IRA) yang dinilai Sri agar investasi asing langsung (FDI) kembali ke AS dan untuk mengamankan supply chain untuk industri strategis, khususnya untuk chip maupun electric vehicle.
Selain itu, di Eropa dilakukan kebijakan Green Deal Industrial Plan dan Carbon Border Adjustment Mechanism.
Sri Mulyani menegaskan perselisihan antar negara yang biasanya dibahas di lembaga internasional seperti (WTO), namun saat ini tidak dilakukan. Peranan lembaga internasional cenderung melemah atau bahkan di bypass.
Sebagai contoh dalam WTO yang semestinya terjadi pembahasan soal trade restriction dan investment restriction, namun saat ini semakin dianggap tidak berperan. Oleh karena itu muncul istilah “The Death of WTO Now Looks Inevitable”.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim yang terjadi secara drastis telah dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia dan berujung pada dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan bahwa sejak 2016 hingga 2022, realisasi belanja aksi perubahan iklim pemerintah pusat mencapai US$37,9 miliar atau lebih dari Rp600 triliun.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Bobby Wahyu Hernawan mengatakan, pengeluaran belanja aksi perubahan iklim dari rentang waktu tersebut rata-rata sebesar US$5,4 miliar per tahun (Rp87,5 triliun) atau setara 3,5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
Bila dirincikan, sekitar Rp332,84 triliun dana digunakan untuk program mitigasi dan Rp214,2 triliun dimanfaatkan untuk program adaptasi.
Perubahan iklim juga memberi dampak tidak main-main, mulai dari ratusan korban jiwa, kerusakan lingkungan, hingga kenaikan harga barang.
Populasi yang Semakin Menua