Susiwijono menjelaskan bahwa tensi geopolitik yang masih panas akan menjadi salah satu alasan penekan perekonomian domestik.
Harga Komoditas Alami Volatilitas
Ketegangan geopolitik yang berganti-ganti pada akhirnya akan berdampak kepada permintaan harga komoditas. Terlebih, wilayah yang terlibat konflik seperti Timur Tengah dan Rusia adalah penyuplai terbesar komoditas seperti minyak mentah dan gas.
Harga minyak Brent contohnya pada 2014 sempat melonjak ke US$115 per barel kemudian anjlok pada 2016 menjadi US$28 per barel. Harga minyak melonjak pada 2014 karena ketegangan di Irak setelah militan mengambil alih beberapa wilayah dan menyerang kilang.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Bahkan harga minyak sempat kembali ambles ke level terendah di dalam histori harga minyak selama lima dekade yakni di posisi US$23 per barel pada 2020 karena ambruknya ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19.
Dalam waktu kurang dari dua tahun, harga minyak terbang ke level US$120 per barel karena terjadi perang Rusia dan Ukraina atau naik lebih dari 400%.
Contoh lain adalah saat harga minyak jatuh dari sekitar US$ 100 pada 2014 lalu langsung ambruk ke US$ 40 per barel pada 2016. Anjloknya harga minyak membuat pendapatan negara jatuh sehingga defisit melebar.
“Ini (turunnya) cepat sekali dalam 1-2 tahun. Kulo nuwunnya sangat pendek banget dan kemudian langsung jatuh,” ujar Sri Mulyani.
Begitu pula dengan harga komoditas minyak sawit yang mengalami volatilitas tinggi bahkan melonjak hingga sembilan kali dalam kurun waktu singkat. Hal-hal inilah yang pada akhirnya memberikan dampak kepada pendapatan negara.
Contoh terbaru adalah lonjakan harga komoditas pada 2022. Pada tahun tersebut pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan sekitar Rp 420 triliun karena lonjakan harga batu bara, harga minyak, hingga kelapa sawit mentah setelah perang Rusia-Ukraina meletus.
Namun, pendapatan negara dari volatilitas harga komoditas diperkirakan turun jauh pada tahun ini karena ketegangan Rusia-Ukraina yang melandai.
Restriksi Perdagangan
Baca Juga:Persidangan Taipan Media Hong Kong Atas Tuduhan ‘Konspirasi Publikasi Hasutan’ Makan Waktu LamaDirektur Al Jazeera Salah Negm: Kerugian yang Kami Alami karena Penghentian Siaran Dibawa ke Jalur Hukum
Perang dagang telah terjadi dan mengalami eskalasi yang cukup signifikan.
Jumlah restriksi dagang yang diberlakukan terutama antara AS dan China terdapat 982 restriksi yang terjadi pada 2019. Selanjutnya pada 2021 merangkak naik menjadi 2.491 restriksi. Pada 2022 menjadi 2.845 dan pada 2023 kembali naik menjadi 3.000 restriksi perdagangan dengan nilai yang sangat besar.