Benteng-benteng lalu didirikan, termasuk yang terkenal, Kasteel Batavia. Pasukan militer segera diboyong ke Batavia. Menurut presentasi Mona Lohanda yang berjudul “Pergeseran Pola Budaya di Batavia Masa Kolonial” dalam Seminar Jakarta dalam Perspektif Sejarah (1987), pasukan itu terdiri atas tentara sewaan yang bertugas mengawal kebutuhan komersial VOC serta menjaga keamanan wilayah kompeni.
Batavia menjelma pusat kolonialisasi Belanda. Selain menerapkan pola rodi dan babu bagi pribumi, fenomena nyai para pejabat kolonial marak. Reggie Baay menjelaskan dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda (2010) bahwa nyai ialah wanita pribumi yang dijadikan “istri simpanan” pejabat VOC.
Selain itu, hunian bagi pribumi juga diatur diskriminatif. Di era Pajajaran, mereka ditempatkan di sekeliling kota. Namun ketika Belanda menduduki Batavia, pribumi ditempatkan di daerah luaran benteng. Sementara itu, para pejabat VOC, orang-orang Eropa, pecinan, dan Arab tinggal di dalam benteng—notabene, implementasi penempatannya lebih kompleks lagi.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Batavia dijadikan sebagai sentra kekuasaan VOC di Nusantara sampai akhir kebangkrutan kongsi dagang itu pada 1799. Usai VOC bubar, segala peninggalannya berupa materi dan kelembagaan diambil alih oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Batavia tetap menjadi pusat pemerintahan, tempat kantor Gubernur Jenderal Hindia-Belanda berada.
Dalam catatan Mona Lohanda lainnya yang bertajuk Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), pada awal abad ke-20, Batavia ditetapkan oleh pemerintah menjadi gemeente. Per tanggal 1 April 1905, Batavia diberi kewenangan otonomi khusus untuk mengatur urusan kedaerahannya.
Secara administratif, wilayah Batavia mencakup 2 distrik dan 6 subdistrik yang diperjelas secara rinci dalam Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia No. 19 (27/10/1904). Wilayah ini dipimpin oleh burgemeester (setara walikota) dan instansi Raad van Indie (Dewan Rakyat Hindia Belanda).
Demi menyediakan pemukiman bagi para urban yang memadat, pemerintah membeli tanah-tanah partikelir. Luas tanah kota praja mencapai 8.000 km2 pada 1920, dan terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya. Selain itu, fasilitas publik macam stasiun kereta api, halte, jembatan, sekolah, rumah sakit, hingga pertokoan turut dibangun.
Tatkala bala tentara Jepang datang pada 1942 dan menumbangkan pemerintahan Hindia Belanda, struktur administrasi Batavia berubah. Nomenklatur berbahasa Jepang dipakai. Misalnya, istilah karesidenan (syuu), kota atau kabupaten (si/ken), distrik (gun), kecamatan (son), dan desa (ku). Namun secara politik, penerapannya tak jauh berbeda dari periode sebelumnya.