Secara umum, Babad Kediri berkisah tentang 3 hal. Pertama, perihal Islamisasi di Pulau Jawa merupakan sebuah kesalahan besar dan fatal. Kedua, menganggap para wali; Sunan Bonang dan Sunan Giri sebagai aktor jahat yang mendalangi proses pemberontakan kepada Kerajaan Majapahit.
Ketiga, menggambarkan Raden Patah, anak Prabu Brawijaya, sebagai seorang sosok yang durhaka karena berani memberontak kepada ayahnya. Saking sedihnya, Prabu Brawijaya akhirnya memilih untuk melarikan diri menuju ke arah timur menuju Bali.
Melihat kejadian ini, Sunan Kalijaga kemudian menyusul Prabu Brawijaya dan memintanya kembali menjadi raja di Majapahit. Raja terakhir Majapahit sempat menolak permintaan tersebut sebelum akhirnya Prabu Brawijaya terbujuk untuk kembali sekaligus masuk Islam.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Prabu Brawijaya kemudian mengajak dua pelayannya bernama Sabda dan Palon–ada yang menyebut dua, ada yang satu–masuk Islam. Akan tetapi, Sabda Palon Naya Genggong justru marah besar. Ia tidak senang melihat rajanya berpindah dari agama leluhurnya menuju Islam.
Sejak itu Sabda Palon berjanji meninggalkan raja untuk selamanya. Ia juga bersumpah bahwa akan berusaha keras untuk mengembalikan masyarakat Jawa kembali ke agama leluhurnya.
Bahkan, ia berseru akan membuang orang-orang Jawa yang berperilaku buruk ke luar negeri dan akan mendatangkan orang-orang asing ke daerah Jawa. Tafsir kami atas orang asing di sini, mungkin, orang Eropa Belanda.
Ia juga berjanji akan berusaha keras membuat masyarakat Jawa agar minum alkohol lagi dan makan daging babi lagi seperti di zaman Majapahit.
Dalam manuskrip Babad Kediri, disebutkan bahwa babad ini lahir atas permintaan presiden kolonial saat itu. Setelah Perang Jawa, tepatnya pada 1831, presiden kolonial daerah Kediri, Nganjuk, dan sekitarnya meminta Adipati Kediri bernama Raden Mas Ngabehi Purbawijaya untuk menuliskan sejarah Jawa.
Kemudian dalang wayang klithik bernama Ki Dermo Kendo datang ke Kadipaten. Ki Dermo Kendo bersama niyaga wayangnya lantas membawa seorang bernama Ki Sondong. Sosok inilah yang akhirnya menjadi media perantara, sosok yang kerasukan jin dari bukit Gunung Wilis dan Kelud.