MENGUTIP Jurnal Manuskrip Nusantara yang berjudul Sabdo Palon Nayagenggong Nagih Janji: Makna dan Pemahaman dari Masa ke Masa oleh GPH Dipokusumo, dalam kesehariannya, Sabdo Palon terlibat langsung dengan Sang Prabu dalam proses wawan-sabda atau dialog dengan para wali, salah satunya Kangjeng Sunan Kalijaga. Sabdo Palon menganut kepercayaan Budi yaitu agama Jawa yang sudah berlaku secara turun menurun. Dalam Jangka Sabdo Palon, ia meramalkan kehancuran Islam di tanah Jawa. Syair ramalan ini berbunyi:
“Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji” Artinya: “Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu”. Menurut Peri Mardiyono dalam buku Sejarah Kelam Majapahit, Syair tersebut muncul di penghujung Serat Jangka Sabdo Palon yang dikenal sebagai “Sabdo Palon Nagih Janji”. Melalui syairnya itu, Sabdo Palon memberitahukan tanda-tanda alam dan sosial kemasyarakatan yang akan muncul di zaman kembalinya nanti.
Dari beberapa informasi dihimpun, ada empat asumsi mengenai kebenaran eksistensi dari sosok Sabda Palon dan Naya Genggong.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Pertama, Sabda Palon Naya Genggong adalah sosok nyata, manusia sebagaimana umumnya. Jika ditelusuri, ternyata keduanya memiliki silsilah leluhur, yaitu masih keturunan dari Empu Tantular VI, penulis Kakawin Sutasoma yang menjadi muasal penggunaan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar negara. Nama asli Sabda Palon adalah Dhang Hyang Smaranatha (lahir 1328 M) dan Dhang Hyang Panawasikan (lahir 1337 M).
Secara keseluruhan, silsilah leluhur dari dua sosok tersebut adalah trah para brahmana dan begawan, yaitu gelar untuk orang-orang yang bergelut dalam dunia ilmu dan spiritual. Itulah kenapa keduanya kemudian menjadi penasehat bagi Prabu Kerthabhumi. Bahkan, ada yang menyebut keduanya sudah menjadi penasehat keraton sejak masa Dyah Rani Suhita (Ratu Ayu Kencana Wungu) dengan Raden Ratnapangkaja (Damarwulan) memerintah dari 1427-1447, menggantikan Prabu Wikramawardhana (raja kelima Majapahit).
Damar Shashangka menyebut, kedua sosok tersebut ini dulunya adalah penasehat pribadi dari Raden Damarwulan. Berkat nasehat dan siasat dari keduanya Raden Damarwulan akhirnya berhasil menumpas pemberontakan dari Adipati Menakjingga yang waktu itu menjabat sebagai adipati keraton wetan Majapahit (Blambangan). Nah, baru setelah Raden Damarwulan menikahi Ratu Ayu Kencana Wungu, dua sosok ini resmi dilantik jadi penasehat keraton.