TabloidDeTik dan majalahEditor juga diberedel tanpa alasan yang jelas. Satu yang pasti, mereka juga sering menulis kritik pada pemerintah yang membuat Soeharto dongkol.
Jika alasan yang dipakai untuk melenyapkan Tempo adalah keamanan nasional, maka alasan yang dipakai untuk memberedel Editor adalah soal birokrasi. Ketika diberedel, Editor memang sedang mengalami ketidakstabilan kepemimpinan.
Departemen Penerangan tidak memberi izin Majalah Editor dipimpin oleh orang yang tak terdaftar di Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Waktu tiga minggu yang diberikan pemerintah dianggap tak cukup oleh penjabat Pimpinan Perusahaan Editor, Edi Herwanto.
Baca Juga:Ibu Kandung Pegi Setiawan Tolak Jalani Pemeriksaan Psikologi, Ini Alasan Kuasa HukumSurvey ARFI Institut Ungkap Hasil Elektabilitas Calon Wali Kota Cirebon: Eti Herawati di Urutan Ketiga
Sepanjang perjalanan majalah ini, pemerintah kerap memberi teguran terhadap isi berita Editor. Salah satu yang diingat Edi adalah berita soal mutasi di Kejaksaan Agung. Surat itu dilayangkan sebanyak dua kali.
Sedangkan DeTik yang didirikan Eros Djarot, menurut pemerintah, sudah menyimpang dari tujuan pendirian awalnya yakni sebagai tabloid tentang detektif dan kriminal. Eros mengaku tidak kaget dengan pemberedelan tersebut. Kendati tidak merinci secara detail tentang berita mana yang kira-kira menyebabkan pemerintah gerah, Eros menyebut, “kami mencoba pers gerakan, sehingga ketika diberedel kami gak terlalu kaget.”
“Dengan kami membuat gerakan media pers yang kemudian diberedel itu, menurut saya, merupakan awal sebuah kemanangan, dan itu kami yakini betul,” lanjutnya dalam catatan Redaksi Kompas di buku Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu (2018).
Keyakinan Eros Djarot tidak sia-sia. Berbeda dengan kasus-kasus pemberedelan sebelumnya, kini Tempo mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk membatalkan surat keputusan pencabutan SIUPP. Sidang pertama dan kedua dimenangkan Tempo. Namun di tingkat kasasi, kemenangan Tempo dibatalkan Mahkamah Agung.
Pemberedelan ini menjadi catatan besar terakhir terkait pencideraan insan pers di Indonesia yang dilakukan rezim Soeharto. Demonstrasi meledak di berbagai daerah untuk mendukung pers yang merdeka dan bebas dari tekanan. Gerakan ini juga yang menjadi cikal bakal gerakan demonstrasi mahasiswa yang berujung penggulingan Soeharto di tahun 1998.
“Jadi pembredelan itu membuat mahasiswa semakin yakin bahwa kediktatoran Orde Baru ini harus diakhiri. Dan mereka melakukan usaha-usaha untuk mengonsolidasikan diri, mulai ada saling kontak antar pers mahasiswa dan gerakan yang sudah muncul serta telah menguat pada waktu itu,” tutur Nezar Patria, aktivis gerakan mahasiswa 1998 yang diculik rezim Orba dan pernah menjadi jurnalis Tempo, seperti dikutip Okezone.